Lihat ke Halaman Asli

Ahok Tersandera oleh Kematangan PDIP

Diperbarui: 9 Agustus 2016   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik terlanjur distigmakan dengan persepsi negatif, Ahok sendiri dianggap sebagai sosok pendobrak, bersih, berani dan keluar dari pakem-pakem politik yang menjenuhkan selama ini.

Terlepas dari kecenderungan perilaku politisi kita, semua kebijakan publik mensyaratkan seni berpolitik karena bangsa ini dibangun atas kerjasama politik, nampaknya kata kunci ini yang dilupakan oleh Ahok, dan pendukungnya. Lihatlah bagaimana Ahok lebih sering memposisikan diri sebagai oposite, membanding-bandingkan, melakukan judgement, sering menyerang secara terbuka, dan gemar berkonflik. Karakter ini adalah bagian terburuk dari cara berpolitik yang berlaku secara umum.

Tahapan Pemilukada DKI cukup panjang, Ahok dan beberapa orang memulai dari jauh hari. Beberapa nama diantaranya Adyaksa Dault, Yusril Ihza Mahendra, Hasnaeni 'wanita emas', sampai Ahmad Dani. Satu-satu diantara mereka sudah pernah melakukan pertarungan terbuka di media, akhirnya para bakal calon tersebut kehabisan energi, malah terancam tidak muncul dipencalonan, termasuk Ahok.

Saat ini Ahok terjebak pada paradoks yang seba sulit. Diakui atau tidak mengumpulkan satu juta KTP atas bantuan teman ahok yang dibentuk Cyrus membutuhkan banyak modal, mesin politik sebanyak itu mahal harganya. Bohong kalau Ahok tidak biayai, atau terlalu polos bagi yang percaya. 

Melihat Ahok mempekerjakan anak muda untuk urusan strategis awalnya merupakan sebuah harapan terciptanya pembaharuan politik, nyaris baru Ahok yang punya juru bicara muda, cantik, kece dan smart

Pengumpulan KTP sukses, Ahok waktu itu yakin bahwa teman Ahok bisa menjadi kendaraan politik melalui jalur independen. Namun pada akhirnya Ahok memilih mengabaikan 1 juta KTP dan berkomitmen melakukan kerjasama politik dengan parpol, terlalu polos kalau menganggap ini bebas kepentingan. 

Ahok pun kehabisan energi, posisinya terancam dalam bayang-bayang mundurnya salah satu partai pendukungnya. Mengingat kenyataan politik selalu sulit ditebak dan bisa berubah dalam sekejap. Ahok yang tersandra ini apakah masih bisa dijadikan tumpuan harapan, atau mari kita mencari alternatif lain ?

Saat ini satu-satunya nilai tawar Ahok kepada partai pendukung adalah posisinya sebagai incambent, punya kuasa atas APBD, dan jaringan birokrasi. Selain itu tidak ada, Elektabilitasnya masih di bawah 60%, angka yang menghawatirkan bagi calon petahana. 

Pada akhirnya Ahok akan kepayahan melakukan konfrontasi antara ucapan-ucapannya terdahulu dengan kenyataan sekarang. Termasuk dalam sanubari teman Ahok akan berkecamuk bias nilai yang diyakininya dulu tentang Ahok dengan kenyataan sekaran. Bahwa partai A, si B maling APBD, bahwa Partai itu tidak bisa dipercaya, bahwa Ahok itu konsisten, bersih, dan bekerja untuk menghalau begal duit negara. Apakah nilai itu masih diyakini?

Disanalah kita harus belajar dari PDIP, partai ini nyaris tidak terdeteksi melakukan apa-apa dalam menyongsong Pilkada DKI. Posisinya sekarang serba untung. Semua partai akan manut dengannya, bahkan PKS yang anti Jokowi sudah menyakatan Sami'na wa atho'na dengan kepusan PDIP. Sesungguhnya bukan karena PDIP enggan berkonflik dengan Ahok, tapi partai ini sudah melakukan pemetaan yang jitu bagaimana membangun sinergi dan kekuatan politik untuk melawan Ahok, agar sekali pukul langsung jatuh, ditengah energi Ahok yang sedang lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline