Lihat ke Halaman Asli

Analisis Kasus Sosiologi Hukum Menggunakan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

Diperbarui: 2 Oktober 2024   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Najibullah Zaki Munib

HES 5G/222111279

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum, yang diampu oleh bapak Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

  • Analisis contoh kasus menggunakan cara pandang filsafat hukum positivisme

Kasus Nenek Asyani, yang didakwa atas pencurian kayu jati milik Perhutani, dapat dianalisis melalui perspektif positivisme hukum dengan menyoroti pentingnya norma hukum yang tertulis. Nenek Asyani dijatuhi vonis berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang menekankan bahwa tindakan pelanggaran harus ditindak lanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku, terlepas dari argumen kepemilikan kayu yang diajukan. Proses hukum, dari laporan hingga penahanan, dilakukan sesuai prosedur, menciptakan kepastian hukum yang esensial dalam masyarakat. Sanksi berupa penjara dan denda bertujuan untuk memberikan efek jera dan menegakkan disiplin hukum. Kritik terhadap keputusan majelis hakim menunjukkan adanya mekanisme akuntabilitas dalam sistem, meskipun positivisme lebih fokus pada aspek normatif ketimbang moral. Secara keseluruhan, analisis ini menegaskan bahwa kepatuhan terhadap hukum dan sanksi yang tegas merupakan kunci dalam menjaga ketertiban sosial.

  • Apa madzhab hukum positivisme?

Madhzab hukum positivisme mencakup beberapa aliran utama yang memberikan kontribusi penting dalam memahami hukum sebagai fenomena sosial yang terpisah dari moralitas. Positivisme klasik, yang dipelopori oleh John Austin, melihat hukum sebagai perintah dari penguasa yang diikuti oleh sanksi, menekankan aspek kekuasaan dalam pembentukan hukum. H.L.A. Hart kemudian mengembangkan teori ini dengan membedakan antara aturan primer, yang mengatur kewajiban, dan aturan sekunder, yang mencakup prosedur dan pengakuan hukum, menyoroti pentingnya interaksi sosial dalam hukum. Di sisi lain, Hans Kelsen memperkenalkan "Teori Hukum Murni," yang berfokus pada struktur dan norma hukum tanpa melibatkan nilai-nilai moral, menegaskan bahwa hukum harus dipahami secara murni sebagai sistem normatif. Selain itu, positivisme sosial menekankan konteks sosial dan budaya dalam pembentukan hukum, mengakui bahwa hukum merupakan produk dari praktik sosial. Secara keseluruhan, madzhab ini menunjukkan bahwa hukum berfungsi sebagai alat untuk menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat, terlepas dari pertimbangan etika.

  • Argument tentang madhzab hukum positivisme di Indonesia

Positivisme hukum di Indonesia menekankan bahwa hukum terdiri dari norma-norma yang ditetapkan oleh otoritas berwenang, tanpa bergantung pada moralitas. Pendekatan ini memberikan kepastian hukum, yang penting untuk menegakkan keadilan dan stabilitas dalam masyarakat. Dengan adanya proses legislasi yang jelas, masyarakat bisa memahami hak dan kewajibannya. Namun, meskipun memberikan kepastian, positivisme hukum sering dikritik karena tidak selalu mencerminkan keadilan sosial. Beberapa norma yang sah secara hukum mungkin dianggap tidak adil oleh masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan moralitas ke dalam sistem hukum agar lebih relevan dan mencerminkan kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline