Ini masih mengenai cerita lanjutan dari postingan sebelumnya. Jadi bagi pembaca yang belum membaca sekuel sebelumnya, silahkan untuk membaca terlebih dahulu agar cerita selanjutnya ini bisa lebih dinikmati.
Baca dulu : The Youth Pledge Day, Nothing is Eternal
Kali ini penulis lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Karena bagi penulis, bahasa ini lebih bisa mewakili perasaan penulis, terlebih bahasa in adalah bahasa Ibu penulis.
29 Oktober 2022
Kami serombongan anggota KKN kelompok 18 (saya masih ingat 3 tahun yang lalu, kelompok KKN kami adalah kelompok 18 dimana angkatan KKN-nya adalah angkatan ke-99) ta'ziyah ke tempatnya almarhumah di daerah Gombong Cawas Klaten. Dalam perjalanan, saya masih belum percaya kalau dia sudah tiada. Hanya masuk angin, lalu tiduran di kamar dan bablas tidur selamanya. Masa iya, dengan hanya masuk angin meninggal?
Potongan-potongan senyumannya, cara dia memanggil saya ketika masih KKN atau kala berjumpa di warung makan sekedar reunian masih cukup terlihat jelas sekali dalam kelebat pikiran saya. Dia juga seorang yang cukup aktif memposting status di WA dan mungkin di Tik-Tok dan Facebook (karena hamba tidak begitu sering online di kedua hal terakhir). Beberapa postingannya di WA seringkali saya tanggapi. Ya, hanya untuk sekadar say hello saja.
Dalam 'say hello' terakhir yang saya lakukan dengan almarhumah, di akhir sesi saling candaan, dia share lokasi tempat tinggalnya. "Main kesini Jib, kamu belum pernah kesini to?". Saya tanggapi dengan menscreenshot Google Maps jarak yang harus ditempuh kalau benar mau ke rumahnya. "Oh, jauh ya" saya tambah caption seperti itu setelah mengirimkan SS jarak tempuh tersebut. Dia hanya menanggapi dengan emot tertawa.
Tepat 3 minggu setelah dia mengirimkan lokasi rumahnya, saya benar-benar menggunakan link yang ia kirim untuk berkunjung ke rumahnya. Bukan sebagai seorang yang hadir di acara pernikahannya, bukan sebagai seorang yang datang karena main ke daerah sana untuk menghabiskan weekend lalu mampir ke rumahnya, tapi datang untuk menghadiri pemakamannya.
Perjalanan untuk sampai ke rumahnya sekitar 2 jam. Kami sampai sana tepat satu jam sebelum pemakaman. Masih saja pikiran dan hati saya berkelebat tidak percaya kalau dia sudah tiada. Tapi kerumunan orang yang melayat, nama dia yang diukir dalam sebuah papan kayu untuk menandai kuburannya dan jenazahnya yang ditutupi dengan kain hijau yang bertuliskan kalam istirja' yang merendanya membuatku harus percaya kalau dia memang sudah tiada.
Beberapa saya masyhur dengan wajah-wajah yang melayat karena saya pernah melihat orang-orang tersebut dalam foto status yang pernah almarhumah posting. Beberapa kerabat,sahabat, teman, kelompok organisasi, guru-gurunya mengiringi doa dan prosesi sebelum pemakaman. Lantunan doa dan iringan acara perpisahan dengan almarhumah pun terasa khidmat.
Beberapa kali saya lihat bapaknya almarhumah begitu memaksakan diri untuk kuat menerima kenyataan ini. Tidak ada air mata yang menetes di sana. Hanya saja dari kerut wajahnya, gestur tubuhnya dan beberapa kali saya lihat cara beliau mengibas rasa sedih dengan menjabat erat para pelayat sesekali memeluknya, sangat terbaca sekali betapa terpukulnya beliau.