Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menimbulkan pro dan kontra.Persoalan pokok yang menuai polemik bersumber dari frasa 'tanpa persetujuan korban' sebagaimana yang tercantum pada beberapa pasal dalam Permendikbudristek Nomor 30 tersebut.
Kelompok penolak Permendikbud melabeli frasa 'tanpa persetujuan korban' sebagai aturan yang melegalkan perzinahan hingga perilaku seks bebas di dalam kampus, maupun hubungan seksual di luar pernikahan. Dalam menanggapi latar belakang dikeluarkannya PERMEN ini, saya memetik kalimat suatu postulat hukum yang bunyinya:
'Het recht hinkt achter de feiten aan,'
yang artinya: "Hukum itu berjalan terseok-seok mengikuti fakta"
Hukum sebenarnya ada di belakang fakta, dalam arti kenyataan itulah yang menginspirasi munculnya hukum. Sehingga, tidak mungkin ada produk hukum yang dikeluarkan apabila tidak ada fakta/fenomena yang melatar belakanginya. Hal ini sering kita sebut sebagai "Urgensi" atau derajat penting tidaknya suatu aturan harus dibuat atau diberlakukan.
Lantas apa latar belakang yang mengurgensikan terbitnya PERMEN ini?
- Fenomena kekerasan seksual, khususnya di institusi pendidikan yang kian mengkhawatirkan
- Berdasarkan Survey dari KEMENDIKBUD sendiri pada tahun 2020, disebutkan bahwa ada sekitar 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
- Survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene serta difasilitasi oleh The world's platform for change Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
- Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.
- Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu sebesar 14 persen.
2. Amanat konstitusi
Hak atas rasa aman serta jaminan perlindungan diri pribadi telah dikonstitusionalisasikan dalam UUD NRI 1945. Oleh karenanya, menjadi tanggung jawab negara dalam menjamin hak-hak rakyatnya, yakni dengan menciptakan ruang aman bagi semua masyarakat dari potensi-potensi kekerasan yang mengancam. Hal ini diwujudkan dengan pembuatan produk hukum, pengawasan jalannya peraturan, serta akses informasi, pengaduan, dan advokasi, baik secara litigasi maupun non-litigasi.
3. Tanggung jawab negara untuk hadir dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
memenuhi kebutuhan masyarakat Dalam teori hukum responsif, hukum harus dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan paradigma hukum tersebut haruslah dibuat dengan perspektif korban/konsumen agar memungkinkan untuk memberikan perlindungan maupun pemulihan secara maksimal.