Bagi warga Luwu, Sulsel, tepatnya Larompong dan Suli banjir sudah bagian dari fenomena kehidupan mereka beberapa puluh tahun terakhir ini. Banjir yang mencapai hingga 3-4 kali setahun itu sudah tak lazim. Pada medio 2004, banjir dan longsor menelan korban jiwa sedikitnya 18 orang tewas dan puluhan rumah warga tertimbun tanah. Pencarian terhadap korban-korban cukup memakan waktu hingga hari ke sepuluh. Bahkan, banjir ini menjadi berita head line media elektronik dan media cetak beberapa hari kala itu. Kini baru saja wilayah ini dilanda banjir. Meski tak ada korban jiwa. Tapi minimal, merepotkan warga yang harus berjibaku membersihkan lumpur pasca banjir. Kondisi alamnya yang boleh disebut tiga dimensi yakni, pegunungan, daratan dan berada di pesisir laut memang sangat potensi banjir. Apalagi dengan maraknya penebangan liar dan pembukaan lahan perkebunan ulat sutra di Bukit Sutra--Larompong yang konon dimotori seorang tokoh nasional, Marwah Daud. Wacana demi wacana bagai banjir bandang dari pemerintah setempat dalam upaya penanganannya. Sejak tahun 1987, awal mulainya banjir setinggi 1-2 meter di wilayah itu, pemerintah hanya menangani secara seadanya. Normalisasi sungai dan gerakan penghijauan nasional, belum juga menyurutkan air bercampur tanah itu mewarnai kehidupan masyarakat setempat. Boleh dikata, penanggulangan banjir selama ini khusus di daerah tersebut, hanya sekadar menyelesaikan program tahunan pemerintah daerah maupun pusat. Menghabiskan dana tanggap darurat tanpa hasil yang maksimum. Berbicara masalah banjir, tidak cukup hanya dari hulu tapi harus ditangani hingga hilir. Penanganannya harus secara konfrehensip. Semua komponen harus ikut berperan. Sebab, permasalahanya pula sudah kompleks. Selain fenomena alam juga ulah manusia sendiri. Pengawasan terhadap pembalakan liar, pemberian izin pembukaan lahan pada kawasan hutan lindung tak lepas sebagai bagian penyebab banjir. Minimnya saluran pembuangan ke muara laut menambah bergejolaknya banjir, jika curah hujan tinggi. Eksploitasi batu karang menjadikan air pasang laut semakin tinggi hingga meluap ke daratan berakibat pula tingginya volume air ketika banjir. Sebab, jarak antara wilayah lautan dan pegunungan di daerah ini hanya berkisar antara 15 Km. Oleh warga setempat banjir bukan hal lazim. Banjir sudah diasumsikan sebagai hal yang wajar. Mereka sudah bisa prediksikan, jika curah hujan tinggi dengan waktu hingga dua jam, dipastikan banjir akan datang. Apalagi jika hujan di hulu. Bahaya atas banjir tak lagi menjadi hal yang merisaukannya. Kunjungan para pejabat daerah setempat bukan lagi hal tabu. Bahkan hanya menjadi tawa miris bagai "overa van java", jika pejabat/pemerintah berkunjung pada saat banjir. Seolah-olah prihatin dengan rela jalan dan basah kuyup di tengah luapan air dan lumpur. Air banjir belum surut, jumlah kerugian warga sekejap bisa dihitung pejabat setempat, baca:(http://www.fajar.co.id/read-20120708015413-kerugian-tembus-rp85-miliar). Sungguh cepat menghitung kerugian, tapi tak tanggap melakukan antisipasi dan penanggulannya. Meski itu menurutnya hanya hitungan kasar. Tentu dipahami, masalah bencana tidak semudah itu dengan hitungan matematik. Tetapi, butuh managmen, data dan fakta yang objektif. Dari sisi tersebut, tersirat ketiadaan keinginan menangani secara total dan sifatnya hanya sementara. Bahkan seolah menjadi tawa bagi pihak bakal untung, meski pada sisi lain jadi miris warga korban banjir. Sikap miris warga bukan tanpa alasan. Pertama; banjir bukan hal baru. Kedua; banjir menjadi jalan "lahan bantuan sosial" dan ketiga; hanya pencitraan semata, keempat patut diwaspadai jelang momentum pemilihan gubernur Sulsel dan kelima bukan hal baru pula pemerintah meninjau banjir. Pemerintah setempat menyebutkan akan melakukan langkah strategis. Salah satunya, dengan membagi 300 ribu bibit untuk kebun bibit rakyat (KBR) untuk 16 Kelompok. Sumber dana menurutnya dari APBD sejak tahun 2010. Diketahui, program KBR ini adalah program Kementrian Kehutanan RI dan sumber dananya dari APBN. Berikut kutipan statemen Bupati Luwu, Andi Mudzakkar: fajar-Sabtu, 26 Mei 201 "Bibit ini juga kita siap distribusikan untuk masyarakat yang membutuhkan. Penyaluran bibit ini gratis. Pengadaannya menggunakan dana APBD dan berjalan sejak tahun 2010,". Jika menganalisa langkah yang akan dilakukan ini, hanyalah langkah taktis dan semata menjawab pertanyaan wartawan seadanya. Pertanyaan kemudian, mampukah KBR itu mengantisipasi banjir dan sejauhmana akan efektifitas penyaluran KBR tersebut. Tak salah jika ada rada-rada cemas bisa jadi hanya tersalur pada perkebunan oknum tertentu. Terlepas dari berbagai penyebab banjir, tentu persoalan fenomena alam perlu menjadi perhatian. Jika suara rakyat tak terdengar oleh pemimpinnya dan pemimpin tak mampu mengayomi dan "membersihkan", alam akan mewakilinya. Alam akan bicara. Semoga tidak....! (8676)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H