Lihat ke Halaman Asli

Membangkitkan Subjek di Meja Makan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Enak benar ini makanan!” seruku girang pada suapan pertama setelah seharian menahan lapar. Tetapi adik saya yang masih duduk di sekolah dasar membalas, “siapa dulu yang makan!”
Saya lihat adik saya serius, tak ada niat dia mengolok dengan misal sebab saya berselera buruk atau sebab saya yang rakus makan.
Tak ada tawa. Saya hanya sedikit terhenyak : kebangkitan subjek!

Oke, selama ini kita sering amnesia kalau rasa makanan ataupun kesan yang dihasilkan hasil dari kualifikasi kualitas/kuantitas objek yang terindra adalah lantaran kandungan kualitatif dari objek tersebut. Kita lupa pada si pengukur, subjek. Kita nyaman dengan kualitas suatu produk karena “memang” produk itu berkualitas bagus. Atau mungkin seringkali bukan lantaran hasil kita menilai secara pribadi. Tetapi karena pesohor ini bilang begini, karena iklan bilang begini. Dan pada akhirnya karena orang banyak sudah bilang dan sepakat kalau barang itu memiliki kualitas ini. Atau bahkan kita jatuh pada sihir produksi. Barang itu oke lantaran produk yang telah terkonsekrasi sebagai brand yang berkualitas nan terkenal. Atau karena capaian simbolik yang lainnya. Akutanya, fetisisme.

Kita memakan makanan atau menilai rasa makanan karena ia memang banyak orang yang sudah mengatakan enak atau mungkin karena simbol yang dikandung makanan itu tinggi. Misal karena makanan itu mahal sehingga memberikan kesan pada yang memakan dan mengkonsumsinya tampak maju,modern dan berselera tinggi, elite, dlsb.

Kita makan jajanan pasar yang sangat terjangkau dan akan tetap lezat lantaran kita lapar. Sebab kita terbiasa, sebab memang lidah kita memang menggemari dan mengenal baik rasanya yang dihasilkannya. . Atau sebab rasa sukur dan proses intensitas pergumulan lidah dengan makanan sangat dinikmati“menikmati”. Atau hasrat yang tinggi ingin menikmati. Atau dalam subjektivitas radikal a la Gandhi karena makanan itu enak dalam pikiran kita sehingga kitapun bisa merasakan ke-enak-an makanan yang kita makan.

Lagipula kalau orang lain yang makan, yang tidak doyan dengan makanan yang saya makan. Atau orang yang tak terbiasa memakan makanan yang saya makan mungkin akan lain penilaian kualitatifnya. Mungkin akan memiliki pendapat kualitatif yang berbeda.

Inilah yang hendak dibangkitkan kembali oleh neohegelian seperti Zizek. Mereka mencoba membangkitkan “subjek” yang diproklamasikan oleh para strukturalis telah mati. Tak bisa kita membantah, saat kapitalisme meratu dengan pengawalan ekstra ketat dari konsumtivisme. Menggempur individu dengan lingkungan artifisial yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga tak ada daya lain selain patuh dan tunduk terhadap pengaruh lingkungan yang digawangi kekuasaan dominan, tempat kapitalisme bernaung. Dan dengan terengah-engah, kekuatan individu sebagi subjek yang tak bisa melawan jatuh dalam objektivasi individu yang hanya bisa pasrah, tunduk, serta jinak terhadap sistema di sekitarnya. Apa yang dimiliki oleh subjek per individu selain sebagai sebuah pendapat dan sejarah yang “terbuang”? Dan apa yang dimiliki manusia pingggiran yang terlupakan? Apa otoritas mereka mentidak-enakkan makanan yang telah diklaim enak oleh pihak berkuasa/dominan atau pihak yang telah merasa bagian dari yang dominan?

Sejak Cogito Descartes dianut dengan "kebablasan" sehingga menyingkirkan pesta ontologi atau lebih tepatnya metafisika, subjek harus hilang karena manusia membebek pada positivisme. Dunia yang objektif dan rasional menuntun kebutaan subjek dalam rimba 'keilmiahan". Sekalipun Sartre hadir dengan dewa subjektivisme. Subjektivisme (mel. eksistensialisme) Sartre-pun mengalami hal yang sama dengan cogito-nya Descartes. Ditafsir kebablasan dan justru dijadikan sebagai pijakan gaya hidup individualis, si karib kapitalisme.

Sementara kita tahu kapitalisme sendiri tak pernah ramah dengan heterogenitas, kalaupun terpaksa sopan terhadapnya itupun karena ada "maunya".

Maka, tadi, saat saya merasakan enaknya makanan, itu bukan hanya lantaran ibu saya yang masak atau bumbu yang dipakai diproduksi korporasi tengik yang telah mengimpalankan sejumput kualitas pada jidat masyarakat melalui iklan yang terulang dan terkemas menyenangkan. Tetapi hal terpentingnya adalah karena lidah saya merasakan bahwa makanan itu enak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline