Lihat ke Halaman Asli

Standar Kepemilikan SIM dan Etika di Jalan Raya

Diperbarui: 26 Februari 2016   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

SIM atau Surat Izin Mengemudi merupakan sebuah kartu yang menandakan bahwa pemilik kartu tersebut memiliki kelihaian dan diizinkan oleh POLRI untuk membawa kendaran baik roda dua, roda empat, atau lebih. SIM yang dikeluarkan oleh POLRI sendiri memiliki berbagai macam jenis, terdapat SIM A untuk mobil, SIM B untuk truk dan bus serta angkutan umum, dan SIM C untuk kendaraan roda dua. Selain itu masih dibagi lagi menjadi beberapa sub, seperti sim umum, dan pada tahun 2016 ini rencananya POLRI akan mengeluarkan kategori baru untuk SIM C, berdasarkan besar cc kendaraan.

Melihat betapa terstruktur dan ketatnya peraturan yang mengatur tentang izin mengemudi ini, ternyata berbanding terbalik dengan realita yang ada di masyarakat sekarang. Kita ketahui sendiri, bahwa untuk mendapatkan lisensi mengemudi ini, terdapat dua jalur, yaitu jalur resmi dan jalur ‘nonresmi’ alias menggunakan calo. Nah, untuk masalah ini, penulis sudah pernah mencoba kedua-duanya. Melalui jalur resmi, yaitu  mendaftar di kantor Polantas masing-masing, lalu mengisi formulir dan membayar berbagai macam biaya, mengisi berbagai macam persyaratan, lalu mengikuti Ujian Teori yang sudah Computer Based, setelah itu mengikuti Ujian Praktek. Dengan pelayanan sistem yang ada, jaminannya adalah pemohon dapat mendapatkan SIM dalam waktu kurang lebih dua jam. Itupun dengan catatan lancar dan tidak ada masalah dalam sistem.

Keganjilan yang menurut saya nggak penting terjadi pada waktu saya mengikuti Ujian Teori. Dimana dalam ujian ini kita harus menjawab 30 soal pilihan ganda dengan waktu 15 menit. Pada nomor-nomor awal, saya masih dapat mengerjakannya karena menyangkut pengetahuan umum dalam berkendara. Menuju ke nomor belasan, saya mulai kesulitan, bahkan mungkin semua peserta lainnya. Dimunculkan soal-soal yang menurut saya sangat sulit. Contohnya misalnya ditanyakan mengenai lebar kendaraan maksimum yang diperbolehkan, tambahan aksesoris maksimum yang diperbolehkan dalam kendaraan, jarak sumbu roda kendaraan, rambu-rambu yang tidak pernah kita temui di jalan raya, dan berbagai hal yang bagi orang awam dan tidak mendalami materi tentang peraturan ini, sungguh amatlah sulit. Lagipula, tidak ada buku panduan atau buku pelajaran yang mengajarkan kita tentang segala materi ini. Lalu agar kita berhasil, belajar darimana? Belajar dari internet yang langsung memberikan soal dan kuncinya? Atau belajar dari Undang-Undang Lalu Lintas? Hanya Pak Polisi yang tahu..

Sementara itu, melalui jalur non resmi, hanya dengan mengisi formulir, mencari calo yang pas dan sesuai, lalu membayar kurang lebih Rp 350.000,- untuk sepeda motor, dengan ‘pura-pura’ mengikuti prosedur yang ada, langsung dipanggil namanya, dalam waktu yang sama dengan jalur resmi, kita sudah dapat melenggang pulang dengan SIM terselip di dalam dompet kita. Sangat mudah. Mungkin ini yang menyebabkan timbulnya kebodohan-kebodohan dalam perilaku mengendara di jalan raya.

Teman-teman pasti sering melihat meme ataupun kartun di sosial media mengenai ibu-ibu yang membawa motor matic. Bukan hanya ibu-ibu, pasti banyak kita jumpai sesama pengendara yang tidak memiliki etika dalam berkendara di jalan raya. Perilaku-perilaku ini jelas tidak diajarkan dalam Ujian Teori maupun Ujian Praktek SIM. Sering kita jumpai perilaku di jalan raya yang membuat kita kesal dan ingin menegur mereka. Seperti berjalan di tengah-tengah marka putus-putus jalan dengan kecepatan lambat, berkendara tak tentu arah sehingga menyulitkan kita untuk menyalip dari sisi kanan, lupa mematikan lampu sein, menyerobot antrian kendaraan, dan sebagainya. Hal yang menjadi trend di kalangan netizen sekarang adalah fenomena ibu-ibu yang menaiki motor matic, berjalan ditengah-tengah jalan, tidak mengenakan helm, menyalakan sein kanan, tetapi berbelok ke arah kiri. Siap-siap saja pengendara di belakangnya sport jantung dan pontang-panting. Pasalnya, hal-hal seperti inilah yang membuat terjadi banyak kecelakaan di jalan raya. 

[/caption]

Tragisnya, kejadian-kejadian dimana etika berlalu lintas di jalan raya diabaikan ini, secara tidak langsung juga karena kurangnya pendidikan dan himbauan dari Polantas mengenai etika berkendara. Bagaimana tidak, dalam Ujian Teori kita malah diberikan pertanyaan yang tidak secara langsung digunakan dalam berkendara sehari-hari. Menurut saya, alangkah lebih baik apabila pertanyaan yang diberikan berupa etika-etika dan logika dalam berkendara di jalan raya. Tentunya teman-teman masih ingat juga berita tentang supir taksi yang berdebat dengan polantas mengenai perbedaan antara rambu dilarang berhenti dan rambu dilarang parkir. Menurut peraturan, sopir taksi itu mengatakan hal yang benar dan sesuai dengan peraturan, namun menurut polantas yang menindak sopir taksi tersebut, merupakan suatu pelanggaran dan harus ditilang. Kerancuan-kerancuan ini sering terjadi dalam realita jalan raya, dimana banyak sekali ‘oknum’ polisi yang semena-mena menggunakan kewenangannya untuk mendapatkan ‘gaji tambahan’ dari pengendara yang kurang paham mengenai peratuan berlalu lintas.

Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu memperbaiki diri dan berusaha menuju kemajuan. Dimana negara berkembang selalu berusaha memperbaiki ketidaksesuaian dengan regulasi yang mengatur warga negaranya. termasuk dalam hal berkendara di jalan raya. Ternyata saya dapat menyimpulkan bahwa pihak Polantas masih kurang dalam melakukan penyuluhan dan himbauan mengenai etika berkendara di jalan raya. Kemungkinan besar para pengendara yang tidak memiliki etika dalam berkendara inilah yang menggunakan jalur 'non resmi' dalam permohonan SIM. Tidak semua yang menggunakan jalur non resmi dalam mendapatkan SIM mengabaikan etika dalam berkendara, tetapi semua yang mengabaikan etika berkendara pasti tidak menggunakan jalur resmi dalam mendapatkan SIM.

Akhir kata, untuk teman-teman yang membaca artikel ini, sebenarnya hal yang lebih diwaspadai dalam berkendara adalah pengendara yang tidak memiliki etika dalam berkendara ini. Dikarenakan, para pengabai etika ini merasa dirinya sudah benar , namun ternyata tidak mematuhi hak dan kewajiban berkendara di jalan raya. Untuk teman-teman, silakan bertanya kepada para orang tua, atau orang yang sudah berkendara jauh lebih lama dan lebih profesional daripada anda, atau untuk lebih resmi dan sah, silakan bertanya kepada Pak Polisi terdekat (Pak Polisi ya, bukan 'oknum' polisi) mengenai etika dalam berkendara di jalan raya. Masih khawatir dan takut? Gunakan angkutan umum saja. Lebih murah, irit, dan tidak perlu berurusan dengan mengemudi. hahaha...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline