Lihat ke Halaman Asli

November Rain

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nun...
November ini menjadi purnama ketiga puluh enam bagi jarak perpisahan kita. Bukan waktu yang singkat untuk memupuk rindu menjadi semakin pekat. Coba kau lihat, mungkin debu tebal telah memenuhi lembaran-lembaran cerita kita, membuatnya semakin terlihat usang. Pun hanya nyanyi sunyi yang terdengar dari dinding kenangan yang kian membeku.

Dalam rentang waktu yang terus berjalan, selama itu pula aku menyimpan nada suaramu, membungkus lengkung senyum dan tatap matamu dalam balutan asa. Sampai tiba saatnya kita bersua. Aku menyimpan kenangan itu dengan ingatan yang dalam sebagai harta yang berharga, karena aku tak ingin melupakan riwayat kebersamaan dan percakapan pelangi kita.

Tahukah kau Nun?
Setiap kali hujan turun, rinainya mampu menggedor batas imajinasiku, seakan suaramu memanggil-manggil namaku. Di balik riuhnya, seakan aku mendengarmu mendendang lirih setangkai anggrek bulan untukku. Dalam garis-garis beningnya yang turun satu demi satu, sepertinya aku melihat jejak pertemuan kita, bersama aroma tanah basah yang ia tinggalkan.

Nun....
Untuk saat ini, biarkan aku merekatkan kembali remah-remah rindu yang berceceran. Sambil mendengar nada-nada lirih yang kau dendangkan di balik riuhnya hujan bulan November. Dan berjanjilah untuk menemuiku saat aku singgah di kotamu, pada tiga purnama yang akan datang. Untuk menuntaskan kisah kita yang belum usai.

Jember, 02 November 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline