Lihat ke Halaman Asli

Aku Rindu Ayah ...

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam begitu kelam tak mau diajak bercanda sedikitpun, hanya diam bersembunyi menyelimuti bumi yang kian hari semakin banyak terlahir bayi – bayi zaman.

Sang dewi malam hanya menyelinap di balik awan malu – malu.

Tentara angin  siang tadi berlari – lari dengan gagahnya, tapi sekarang berjalan pun tak mau.

Terkadang terdengar burung hantu berdialog dengan pepohonan mengibarkan misteri.

Oh sungguh malam saat itu tak mau tersenyum, tak mau berbicara.

Langit kelam, gelap, menyembunyikan bintang – bintang yang ingin bermain.

Dengarlah wahai kawan lolongan serigala memanggil saudara – saudaranya untuk bercanda di keheningan malam.

Entahlah, ketika itu hatiku gundah.

Jiwa terguncang seakan akan terjadi peristiwa dasyat.

Jam tengah malam telah berdenting, aku tak menghiraukannya.

Aku terlena di depan monitor kesayangan, yang telah setia menemani sejak 30 tahun yang lalu.

Aku jadi teringat masa lalu yang begitu indah.

Masa muda yang penuh kenangan manis, pahit, sedih, senang, suka, duka, asam, asin semua tlah kulalui.

Terserahlah itu adalah hakku untuk mengenangnya.

Tak lama kemudian air mataku ikut menemani kesendirianku saat itu, mengalir begitu deras tanpa henti.

Oh Allah ... aku teringat ayahku yang telah lama tak bersua.

Wajahnya yang tak pernah ternodai marah, atau melukai hatiku.

Senyumannya slalu terkenang dalam hatiku, subhaanallah ... terima kasih wahai Allah Engkau telah anugerahkan kepadaku seorang ayah yang bijak.

Aku jadi teringat file catatan harianku tentang ayah, kucoba buka kembali.

Ayah ... aku rindu padamu. Aku tahu engkau tak lagi mendengar, tak lagi melihat, tak lagi merasakan dunia.

Tapi aku yakin engkau di sana slalu melihatku.

Terima kasih ayah, i love dady.

“ Mas, ada apa toh kok kayanya Mas menangis yah ...? boleh Ade tahu sayang ? Ade jadi sedih juga melihat Mas menangis ....” tanya seorang wanita setengah tua.

Aku pun terkejut, karena di samping kiriku sudah ada tangan membelai bahuku penuh dengan sayang.

Aku berusaha menjawab, tapi lidahku kelu.

Malah yang berkata air mata semakin deras membasahi kedua pipiku yang sudah keriput.

Allahu Akbar ... jam dinding terus berdetak tanpa henti, terus berjalan tak ada duka tak ada bahagia ia tetap berjalan sepanjang waktu.

Yogyakarta,

02 12 2005

10.33

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline