Lihat ke Halaman Asli

Review Film Hati Suhita

Diperbarui: 15 Mei 2023   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Instagram @filmhatisuhita

Review Film Hati Suhita

Pemilik nama lengkap Alina Suhita, sosok perempuan dari trah darah biru pesantren dengan moyang pelestari ajaran Jawa. Sejak usia remaja ia terikat perjodohan dengan putra tunggal pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Kediri, Abu Rayyan Albirruni. Gus birru adalah sapaan setiap harinya, ia juga aktif di salah satu organisasi pergerakan mahasiswa di kampusnya. Akan tetapi hidupnya serasa hancur ketika harus menikah dengan Suhita. Padahal, saat itu yang ada di hati Gus Birru hanya ada ratna Rengganis.

Setelah membaca keseluruhan isi novel, lalu bertepatan pada hari Kamis, 11 Mei 2023 mendapat kesempatan untuk menyaksikan premier film Hati Suhita. Ini adalah pengalaman pertama saya nonton film bersama dengan para pemain, penulis, sutradara, dan juga produser. Untuk mendapat tiket tersebut pun membutuhkan effort yang luar biasa, berebut dengan ribuan orang. Beberapa jam sebelum penayangan pun harus ngoyo untuk bisa masuk ke studio, karena lokasi dipenuhi dengan para pecinta Suhita. Kota kediri merupakan kota pertama yang menayangkan film tersebut. Mulanya saya juga bertanya-tanya, mengapa kok Kediri sangat spesial ya?

Eits, ternyata latar tempat yang terdapat dalam film tersebut kebanyakan di Kediri. Seperti halnya, tepi Sungai Brantas, kafe kapal Bandar Latte, Hotel Insumo, dan Rumah Sakit Gambiran.

Melihat antusias para penonton, saya pun turut bangga dengan penulis Novel best seller Hati Suhita, Ning Khilma Anis. Dari kalangan pesantren bisa melahirkan tulisan yang sangat keren. Hal ini sangat memotivasi bahwasanya santri tidak melulu tentang mengaji, melainkan ia bisa juga melahirkan karya.

Film yang berdurasi 2 jam 17 menit ini tersuguhkan dengan sangat cantik. Ekspektasi dan harapan sangat sesuai bahkan lebih dari itu. Sebagai pembaca novel, saya mengakui bahwa apa yang sudah tertulis di novel dan di film tidak jauh berbeda. Poin kesakralan pun tersusun rapi, nyaris semua adegan favorit pembaca ada. Lokasi yang diambil pun nyata di tempat aslinya, tanpa dibuat-buat, contohnya mulai dari makam Mbah Sunan Tembayat Klaten, Makan Kyai Ageng Besari Ponorogo, segaran Triwulan bahkan warung wader langganan Gus birru pun asli. Oh ya, yang tak kalah keren adalah lokasi rumah Mbah Kung yang asri, sungguh sesuai dengan imajinasi ketika membaca. Dengan suasana yang terlihat sejuk, damai, penuh dengan tumbuhan hijau ternyata pengambilan gambar secara langsung dari kaki Gunung lawu.

Perlu digarisbawahi bahwasanya novel tersebut tidak hanya tentang dunia percintaan, melainkan banyak sekali wejangan yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan yang dibungkus rapi melalui seni wayang. Keren kan?

Teruntuk kalian yang sudah membaca novelnya, wajib nonton deh pada tanggal 25 Mei di Bioskop . Dan bagi yang belum membaca, silakan baca saja dulu. Dijamin ketagihan, hehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline