Kata "Moderasi" berasal dari Bahasa Inggris yaitu "Moderation" yang artinya sedang atau sikap yang tidak berlebih- lebihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Moderasi" berarti pengurangan kekerasan & penghindaran keekstreman. Dalam Bahasa Arab "Moderasi" disebut wasath atau wasathiyah yang artinya tengah-tengah yang memiliki pandangan arti yaitu I'tidal atau sifat adil dan tawazun yang berarti berimbang. Moderasi beragama bisa diartikan sebagai cara pandang kita dalam mengamalkan isi ajaran agama. Keberagamaan merupakan sebuah keniscayaan, dan agama diturunkan oleh Allah SWT. di muka bumi ini untuk menebarkan kasih sayang serta menjalankan perintah agama. Agama diturunkan bukan untuk menyerakahkan keberagamaan tetapi bagaimana cara kita untuk mengamalkan agama ini ditengah keberagaman secara adil & bijaksana.
Dalam beragama terlebih di era globalisasi seperti ini, kita harus sepandai mungkin dalam mencari dan menangkap informasi. Seluruh manusia tidak dapat menghindari adanya globalisasi, dikarenakan fenomena ini menyebabkan segala informasi tersebar secara bebas ke seluruh negara. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari budaya asing yang masuk terutama di Indonesia. Oleh karena itu, kita benar-benar harus pandai dalam mencari maupun menangkap informasi agar terhindar dari berita hoaks.
Sebagai bangsa yang moderat, kita diharuskan untuk menyeimbangkan, berada ditengah- tengah atau bisa dikatakan adil dan tidak berat sebelah dalam mempertimbangkan segala hal. Dalam Kitab At- Tafsir Al- Maqashidi, Abdul Mustaqim menyebut bahwa moderasi beragama dalam Islam bukan hanya sekedar dalam berperilaku di kehidupan sosial, tetapi juga dalam hal beribadah, berakidah, dan bermuamalah. Seperti yang di jelaskan dalam Surat Al-Baqarah: 143 "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang- orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah SWT. dan Allah SWT. tidak akan menyia- nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah SWT. Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Kemajuan teknologi informasi menjadikan konsep- konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, & solidaritas dalam batas yang semakin mengkhawatirkan. Tersebarnya narasi keagamaan yang mudah diorbitkan, dalam hitungan detik dapat menyebar dari satu tempat ke tempat lain,dari satu kanal informasi ke kanal yang lain. Menurut (Jurnal Bimas Islam Vol.13 No. 1) terdapat 3 permasalaham mendasar terkait dengan narasi keagamaan. Pertama, problem pemahaman agama. Dari titik ini, kelompok muslim yang lahir dengan fanatisme keagamaan yang obsolut, ekslusif, & premisif terhadap keagamaan lalu mengkafirkan yang lain. Padahal mereka mendapat pengetahuan secara bebas & liar dari ruang- ruang digital. Kedua, pergeseran otoritas keagamaan. Kehidupan keagamaan mengeras berdasar keyakinan yang dimiliki masing- masing tanpa rambu- rambu. Ketiga, pola pikir & perilaku masyarakat yang berlebihan. Ilmu pengetahuan yang diserap secara bebas melalui kanal- kanal informasi digital menjadi sandaran untuk bertindak sesuai dengan yang diperoleh dari media tersebut. Padahal, media baru dengan karakteristiknya yang praktis & multitasking banyak mereduksi pemahaman agama yang moderat, toleran, & penuh kasih sayang.
Moderasi beragama menjadi langkah awal untuk menumbuhkan toleransi & persatuan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain, & satu komunitas dengan komunitas yang lain. Toleransi agama menjadi tekanan diantaranya dalam toleransi antaragama & toleransi intraagama, baik yang berkaitan dengan toleransi sosial maupun politik. Sedangkan radikalisme dalam moderasi beragama dapat dipahami sebagai suatu ideologi. Terdapat kelompok radikal yang menginginkan perubahan dalam tempo yang singkat & secara secara drastis bertentangan dengan sistem sosial. Banyak yang mengaitkan radikalisme dengan agama tertentu, tetapi radikalisme tidak hanya terkait dengan agama tertentu bisa saja melekat pda semua agama. Radiklisme ini bisa saja muncul karena persepsi ketidakadilan & perasaan terancam, hal ini akan lahir jika dikelola secara ideologis dengan munculnya rasa kebencian terhadap kelompok yang membuat ketidakadilan serta pihak yang mengancam identitasnya.
Orang- orang yang moderat cenderung lebih ramah dalam menerima tradisi & budaya dalam perilaku keagamaannya, kecuali tidak bertentangan dengan pokok- pokok ajaran agama mereka. Tetapi ada juga kelompok yang tidak akomodatif terhadap tradisi & budaya karena mempraktikkan tradisi & budaya dalam beragama dianggap tindakan yang mengotori kemurnian agama. Pandangan sesorang yang akomodatif terhadap tradisi lokal akan semakin moderat dalam beragama, hal ini memang masih harus dibuktikan. Karena bisa saja tidak ada kolerasi positif antara sikap moderat dalam beragama dengan akomodasi terhadap tradisi lokal dalam beragama. Moderasi beragama menjunjung nilai- nilai egaliter (musawah). Perbedaan keyakinan, tradisi, agama, bahasa, suku, & golongan tidak menjadi penyebab putusnya tali persaudaraan. Moderasi beragama juga dapat dipahami sebagai jalan tengah dalam terciptanya kehidupan yang damai & harmoni, terutama di negara yang multikultural ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H