Tradisi sedekah bumi di Pati sendiri mempunyai satu budaya yang hampir mempunyai kemiripan dalam setiap daerahnya. Akan tetapi mempunyai cara yang berbeda dalam susunan acaranya kebudayaan tersebut. Kita sebagai warga pati sendiri tentunya sudah tidak asing lagi dengan kata sedekah bumi atau yang sering disebut dengan kabumi karena hampir setiap wilayah dipati sudah mengenal dan melakukan acara tersebut. Lebih-lebih lagi pati merupakan wilayah yang sembonyan-semboyannya pati bumi minatani yang menandakan bahwa mayoritas masyarakatnya adalah petani. Sedangkan sedekah bumi sendiri diartikan sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap anugerah yang diberikan allah melalui hasil dari bumi yang melimpah. Sehingga masyarakat di pati senantiasa merayakan dan melakukan ritual tersebut sebagai wujud rasa syukur para warganya. Meskipun acara sedekah bumi tersebut memiliki tujuan yang sama bagi setiap daerah, akan tetapi dalam cara mereka merayakan acara tersebut mempunyai perbedaan yang unik. Sedekah bumi pada zaman dahulu sering disebut dengan istilah barikan yang berasal turun temurun dari para sesepuh desa.
Misalnya sedekah bumi yang berlokasi di dukuh demang desa wedarijaksa pati. Biasanya masyarakat melaksanakan kegiatan tersebut pada bulan Apit. Dan acara sedekah bumi sendiri berbarengan dengan penyambutan atas dilantiknya kepala desa.. Para masyarakat saling berpartisipasi dengan memberikan nasi bungkus setiap satu keluarga mengirimkan dua nasi kotak atau besek sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap bumi yang telah kita injak. kemudian besek tersebut dikumpulkan dalam satu lokasi yaitu di perempatan dukuh demang atau sering disebut dengan perempatan ledeng. Lalu kenapa lokasinya harus di perempatan ledeng? kenapa tidak di balai desanya saja?. Nah, mari kita perjelas dengan pemahaman berikut ini.
Warga sekitar percaya bahwa lokasi tersebut sudah menjadi tempat yang sakral dan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena lokasi tersebut juga berkesinambungan dengan terbentuknya punden (makam keramat) di desa tersebut. Para warga percaya, apabila di dalam sedekah bumi tidak diadakan perayaan seperti barongan. Maka, konon katanya akan muncul seekor ular sebesar kendang yang akan muncul di daerah sekitar pertigaan ledeng tersebut.
Awal mula ceritanya, dulu terdapat pohon cemara dan pohon beringin yang berada perempatan dukuh demang atau sering disebut dengan perempatan ledeng. Lalu terdapat kiyai yang diberi amanah oleh gurunya bahwa apabila pohon di perempatan ledeng tersebut mati akan muncul makam wali yang terlihat di daerah tersebut. Yaitu makam wali mbah dandang yang menjadi sesepuh dari dukuh demang desa wedarijaksa tersebut. Kemudian kiyai tersebut menggali sebuah tanah lapang yang dulunya masih milik Negara. Akan tetapi masyarakat sekitar belum ada yang pernah bertemu dengan wali tersebut dan hanya melalui petilasan guru dari kiyai kemudian berkembang menjadi kepercayaan para warganya hingga sekarang.
Para warga menganggap hal tersebut menjadi benar adanya dan menganggap menjadi suatu sejarah yang asalnya dari sesepuh terdahulu. Namun jika difikir lagi, percaya tidaknya itu tergantung diri kita. Karena hanya orang pintar (kiyai) yang mampu menjangkaunya kita hanya bisa memahami dari alur ceritanya bukan melihatnya secara langsung.
Kembali lagi ke sedekah bumi. Selanjutnya acar tersebut dilanjutkan dengan pembacaan selametan atau dengan pembacaan tahlil yang diikuti oleh semua warganya. Semua besek tersebut dibagikan kepada warganya baik dari kalangan anak-anak sampai dengan orang tua sesuai dengan orang yang mengikuti dalam acara syukuran tahlil tersebut. Setelah diadakan acara kegiatan selametan biasanya hari selanjutnya atau malamnya diadakan acara pengajian atau tontonan seperti hiburan ketoprak wayang ataupun barongan. Biasanya juga terdapat lomba yang ikut meramaikan acara tersebut seperti panjat pinang, tarik tambang, voli dan lain sebagainya. Maka dari itu, sebagai warga pati kita harus merasa bangga dengan keanekaragaman budaya yang terdapat di dalamnya dan kita juga harus melestarikan tradisi tersebut agar tidak punah dan tetap dilestarikan sampai anak cucu kita nanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H