Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan kembali isu tentang hubungan Islam dan negara dalam perspektif politik Islam di Indonesia. Kajian ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengkritisi perkembangan serta pasang-surut hubungan Islam dan negara yang sangat dinamis mewarnai peta perpolitikan di Indonesia yang kental dengan tradisi Islam. Pembahasan ini menyimpulkan bahwa: Pemahaman terhadap hubungan agama dan negara dengan pendekatan politik Islam tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara agama atau negara Islam Indonesia, tetapi lebih pada pengisian ruang-ruang agama secara fungsional dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hubungan Islam dan negara dapat terintegrasi dalam sebuah relasi fungsional yang sama-sama mencita-citakan keluhuran. Baik relasi integralistik, simbiosis maupun sekularistik, masing-masing harus dipandang sebagai bentuk yang saling melengkapi. Menghadapi perkembangan modernitas, hubungan Islam dan negara harus diartikulasikan sebagai upaya untuk selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dari berbagai aspeknya, seperti: globalisasi ekonomi-politik dunia, sains dan teknologi, perkembangan isu-isu demokrasi, gender, HAM, pluralisme, secara nasional maupun internasional. Kata kunci: relasi Islam dan negara, politik islam, integralistik, sekularistik. PENDAHULUAN Pembahasan tentang hubungan Islam dan negara telah banyak dibahas para ahli di dunia Islam seiring munculnya konsep nation state (negara bangsa) pada abad ke-19 yang dipopulerkan oleh dunia Barat ke dunia internasional, termasuk wilayah Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam. Meski konsep nation state telah diperkenalkan sejak awal abad ke-19, pada umumnya persoalan Islam dan negara baru serius menjadi isu internasional --tak terkecuali di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia-- pada tahun 1940-an di abad ke-20 lalu, tepatnya pada pasca perang dunia kedua.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, dan kemudian mendapat pengakuan dunia internasional secara de jure dan de facto, sejak itu pula gencar didiskusikan masalah Islam dan negara. Namun demikian, secara historis sebenarnya telah dimulai sejak pra kemerdekan. Di masa pasca kemerdekaan inilah relasi wacana Islam dan negara secara formal menjadi pembahasan di lembaga-lembaga dan organisasi pemerintah maupun non pemerintah, partai-partai, ormas-ormas, dari level organisasi dan lembaga kecil hingga lembaga-lembaga tinggi negara baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
PEMBAHASAN
Salah satu problematika yang dihadapi Islam adalah cibiran teori pedas yang pernah ditulis oleh Kuntowijoyo, bahwa agama (Islam) berdimensi banyak, sementara politik berdimensi tunggal yaitu dimensi rasional. Maka menjadikan agama sebagai politik adalah reduksi besar-besaran atas makna Agama. Di sisi lain, urusan politik kenegaraan adalah perkara yang rasional, Sementara agama adalah urusan kembali kepada wahyu. Menurut Kuntowijoyo, umat harus berada di garis depan dalam pembentukan politik Islam yang rasional, sebab bila tidak, umat Islam Indonesia mayoritas hanya akan menjadi penumpang dan bukan menjadi pengemudi, yang selama ini Pengemudinya adalah negara atau non-Muslim.
Memahami rasionalitas Islam, termasuk dalam soal politik islam, masih terus perlu mendapatkan terjemahan-terjemahan pembaruan agar tidak hanya terlena dengan konsep-konsep "normatif"-nya saja yang justru hanya akan membuat sikap statis, berjalan di tempat, tanpa melakukan perubahan-perubahan yang lebih realistis dan urgen dalam membangun Kualitas kerja, yakni Sumber Daya Manusia (SDM) umat Islam. SDM yang dimiliki umat Islam sangat tidak sebanding, bahkan sangat jauh prosentasenya jika dibandingkan dengan penderitaan dan problematika yang harus diselesaikan, baik sebagai agama yang under development maupun sebagai agama yang mencari "identitas"-nya dalam sebuah negara. Inilah fokus kesenjangan yang terjadi dalam tubuh umat Islam, terlebih lagi jika dikaitkan dengan politik Islam, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Sebab manakala umat Islam sedang membangun diri, dalam waktu yang sama juga berusaha mencari identitasnya yang dipandang sesuai dengan nilai-nilai Universalitas Islam.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan penting yang dapat disampaikan dari pembahasan di atas sebagai berikut: Pertama, Islam dan negara sebagai wacana yang didominasi tema-tema politik dan ekonomi, baik bagi "negara" maupun bagi "agama", dapat dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan. Teori politik Islam tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara agama atau negara Islam Indonesia, tetapi lebih pada pengisian ruang-ruang agama yang menjadi fungsional dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, relasi Islam dan negara dapat terintegrasi dalam garis-garis fungsional kedua terma, yang sama-sama mencita-citakan keluhuran. Bahwa model relasi integralistik, simbiosis dan sekularistik, masing-masing harus dipandang sebagai bentuk yang saling melengkapi. Ketiga, bahwa respons politik Islam Indonesia di era kontemporer harus diartikulasikan sebagai upaya untuk selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dari berbagai aspeknya; globalisasi ekonomi-politik dunia, sains dan teknologi, perkembangan isu-isu demokrasi, gender, HAM, pluralisme, secara nasional maupun internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H