Lihat ke Halaman Asli

nailazrn

Mahasiswa

Ironi Pengangguran Lulusan Pendidikan Tinggi dan Tantangan Mewujudkan Pekerjaan Layak dalam SDGs no. 8

Diperbarui: 15 Desember 2024   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpustakaan TIM Cikini (Sumber : Pribadi)

Pendidikan tinggi sering kali dianggap sebagai jalan menuju pekerjaan layak dan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Lulusan sarjana (S1), yang seharusnya memiliki peluang kerja lebih baik, justru kerap menghadapi berbagai tantangan di dunia kerja. Tingkat pengangguran di kalangan mereka menjadi ironi, terutama dalam konteks upaya mencapai tujuan SDGs nomor 8, yaitu menyediakan pekerjaan layak dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Salah satu alasan utama sulitnya lulusan S1 mendapatkan pekerjaan adalah ketidaksesuaian antara ekspektasi kerja dan kenyataan di lapangan. Banyak perusahaan menawarkan pekerjaan dengan workload yang terlalu berat, tetapi memberikan gaji yang jauh dari layak (underpaid). Fenomena ini memaksa lulusan bekerja di bawah tekanan tinggi tanpa imbalan yang sepadan. Ironisnya, mereka sering kali tidak punya pilihan selain menerima pekerjaan tersebut demi mendapatkan pengalaman atau sekadar memenuhi kebutuhan hidup.

Di sisi lain, fenomena overqualification juga menjadi masalah serius. Banyak lulusan S1 terpaksa bekerja di posisi yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Hal ini terjadi karena terbatasnya jumlah pekerjaan yang memerlukan keahlian tinggi, sementara jumlah lulusan pendidikan tinggi terus bertambah setiap tahunnya. Akibatnya, banyak sarjana yang merasa kurang dihargai secara profesional, yang berdampak pada ketidakpuasan kerja dan rendahnya produktivitas.

Dalam situasi yang sulit ini, fenomena "orang dalam" semakin memperparah keadaan ini. Dalam proses rekrutmen, sering kali kandidat yang memiliki hubungan personal atau jaringan dengan pihak internal perusahaan lebih diutamakan daripada yang benar-benar memiliki kompetensi. Situasi ini menciptakan ketidakadilan bagi lulusan yang kompeten tetapi tidak memiliki akses ke koneksi tersebut. Praktik ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berkontribusi pada rendahnya kualitas tenaga kerja di sektor tertentu.

Selain itu, ketatnya persaingan kerja juga membuat banyak lulusan terjebak dalam lingkaran kebutuhan pengalaman kerja. Banyak perusahaan menetapkan pengalaman kerja sebagai syarat utama, bahkan untuk posisi entry-level, sehingga lulusan baru sering kali kesulitan memasuki pasar kerja. Padahal, pengalaman kerja tidak selalu mencerminkan potensi atau kemampuan individu, terutama bagi mereka yang memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Untuk memberantas atau setidaknya mengurangi hal ironis seperti ini, diperlukan upaya yang matang dari berbagai pihak. Pemerintah dan institusi pendidikan harus merancang program yang memastikan lulusan memiliki keterampilan praktis dan relevan dengan pasar kerja. Di sisi lain, perusahaan perlu mengadopsi kebijakan rekrutmen yang lebih adil dan memberikan upah yang sesuai dengan beban kerja. Selain itu, perlu ada insentif untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor baru yang dapat membuka peluang kerja lebih luas bagi lulusan pendidikan tinggi.

SDGs nomor 8 menekankan pentingnya pekerjaan layak sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan mengatasi tantangan-tantangan tersebut, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi tingkat pengangguran lulusan S1, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja yang adil, inklusif, dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Hanya dengan langkah - langkah ini, ironi pengangguran lulusan pendidikan tinggi dapat diubah menjadi peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun pertanyaannya, mampukah dunia, khususnya Indonesia menerapkan langkah - langkah dan mencapai tujuan itu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline