Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Pantun sebagai Warisan Budaya

Diperbarui: 3 Juli 2024   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 17 Desember 2020, pantun ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada sidang UNESCO sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis. Hal ini tentu membuat kita bangga mengingat bahwa pantun merupakan jenis puisi yang sejak lama telah ada di Indonesia. Pantun merupakan puisi Indonesia klasik yang paling banyak diteliti oleh para pakar sastra, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri.

Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan "Sepantun labah-labah, meramu dalam badan sendiri". Kata sepantun dalam susunan kalimat di atas mengandung arti sama dengan kata sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana.

Pantun merupakan khazanah lisan melayu tradisional yang terdiri dari empat baris yang memiliki rima a, b, a, b. Dua baris pertama merupakan cangkang atau sampiran, sedangkan dua baris berikutnya mengandungi isi. Biasanya bagian pembayang merupakan unsur-unsur alam, sementara bagian isi merujuk kepada dunia manusia yang meliputi perasaan, pemikiran, dan perbuatan manusia. Selain bentuk empat baris, pantun juga bisa terdiri dua baris, enam baris, delapan baris, dan bentuk berkait yang dikenal sebagai pantun berkait. Namun ada juga yang mengangap bahwa pantun Melayu sekedar hasil dari kreativitas orang-orang melayu dalam mempermainkan kata-kata.

Menurut Teuku Iskandar, naskah asli Perhimpunan Pantun Melayu diterbitkan pada tahun 1877 oleh W. Bruining di Batavia.Awalnya pantun digunakan secara lisan dalam Bahasa Melayu. Namun, setelah Bahasa Indonesia disahkan, pantun digunakan dalam Bahasa Indonesia.

Pada zaman dahulu masyarakat melayu belum pandai menulis dan membaca. karena, masyarakat Melayu pada waktu itu belum cerdas. Keadaan ini telah membuktikan bahwa orang melayu sebelum tahu menulis dan membaca telah pandai mencipta dan berbalas-balas pantun antara satu sama lain. Pada abad ke-17 barulah sempurna bentuk, isi, maksud dan alasan pantun itu.

Pantun di Nusantara, terwujud dalam 39 dialek Melayu dan 25 bukan dialek. Pantun juga di dapati turut berkembang di selatan Burma, Kepulauan Cocos, Sri Lanka, Kamboja, Vietnam serta Afrika Selatan (Karena pengaruh imigran dari Indonesia dan Malaysia). Pantun di Malaysia dan Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu. Malah, ia mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkan budaya Melayu, kerjasama kebudayaan, kesenian dan warisan negara di Kementerian.

Umumnya terdapat dua jenis utama pantun, yaitu pantun berkait dan pantun tidak berkait. Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Menurut bilangan barisnya, pantun di bedakan kedalam pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam kerat, pantun delapan kerat dan pantun dua belas kerat. Sedangkan pantun yang popular digunakan ialah pantun dua kerat dan empat kerat.

Seiring berkembangnya zaman, penggunaan pantun tidak lagi berkaitan dengan adat istidat. Pantun sering digunakan oleh tokoh masyarakat dalam berpidato, oleh comedian dalam bersenda gurau, oleh pemuda sebagai bentuk rayu kepada pujaannya, serta hiburan masyarakat lainnya.

Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/12/unesco-tetapkan-pantun-sebagai-warisan-budaya-dunia-takbenda
Jurnal Semantik: Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2012

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline