Di era digital yang semakin mendominasi, pencitraan politik telah mengalami transformasi signifikan, terutama melalui penggunaan media sosial. Politisi dan partai politik kini memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk membangun citra diri yang menarik dan relevan di mata publik. Dalam konteks ini, teknik-teknik pencitraan menjadi alat strategis yang memungkinkan mereka untuk menyampaikan pesan politik dengan cepat dan luas (Fitria Ulfarisa, 2024). Namun, di balik kemudahan akses informasi ini terdapat tantangan serius terkait dengan kualitas informasi yang disajikan dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat. Pencitraan politik tidak hanya berfungsi untuk memperkuat identitas publik seorang politisi tetapi juga dapat menciptakan polarisasi opini di kalangan pemilih.
Sementara beberapa argumen menekankan bahwa media sosial mendekatkan politisi dengan rakyat melalui interaksi langsung dan transparansi, ada pula kekhawatiran bahwa manipulasi informasi dapat memperburuk kesenjangan antara elit politik dan masyarakat. Tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana pencitraan dilakukan oleh aktor politik dalam konteks media sosial serta teknik-teknik yang digunakan. Selain itu, akan dianalisis pengaruhnya terhadap persepsi publik serta implikasinya terhadap kedekatan antara politisi dengan rakyat atau justru peningkatan polarisasi dalam masyarakat. Dengan pendekatan kritis ini, diharapkan pembaca dapat memahami kompleksitas fenomena pencitraan politik di era sosial media saat ini.
Teori konstruksi sosial menyatakan bahwa realitas sosial tidak berdiri sendiri, tetapi dibangun melalui interaksi sosial dan komunikasi dalam masyarakat. Dalam hal ini, media massa memegang peran penting. Media tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap berbagai peristiwa, termasuk pencitraan politisi (Sobur, 2004). Proses seleksi, interpretasi, dan penonjolan aspek tertentu dari suatu peristiwa oleh media massa sangat menentukan bagaimana publik memahami dan merespons tindakan atau pernyataan seorang politisi.
Misalnya, ketika media meliput sebuah acara politik, mereka memiliki kekuasaan untuk memilih berita mana yang akan ditampilkan, bagaimana berita tersebut diartikulasikan, dan aspek apa yang akan ditonjolkan. Jika media lebih fokus pada skandal atau kontroversi, citra politisi tersebut bisa terpengaruh secara negatif. Sebaliknya, jika media memilih untuk menyoroti prestasi atau program-program positif dari politisi tersebut, maka publik akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadapnya. Selain itu, cara media massa membahas isu-isu tertentu juga berkontribusi pada bagaimana politisi dipandang oleh masyarakat.
Contoh lain, dalam peliputan tentang kampanye pemilihan, media dapat memutuskan untuk menekankan isu tertentu, seperti ekonomi atau pendidikan, yang dapat mempengaruhi prioritas pemilih. Penekanan isu ini tidak hanya membingkai cara masyarakat berpikir tentang masalah yang dihadapi, tetapi juga menentukan bagaimana politisi harus merespons untuk tetap relevan di mata publik. Pembahasan personal tentang seorang kandidat juga menjadi bagian penting dari konstruksi sosial ini. Media sering kali menyajikan narasi yang berkaitan dengan latar belakang pribadi, nilai-nilai, dan karakter politisi. Hal ini membentuk citra dan identitas publik dari kandidat tersebut. Jika media menggambarkan seorang politisi sebagai sosok yang rendah hati dan dekat dengan rakyat, hal ini akan menciptakan gambaran positif dan membangun kepercayaan masyarakat terhadapnya. Sebaliknya, jika media fokus pada kekayaan atau gaya hidup mewah seorang kandidat, maka publik mungkin akan merasakan ketidakcocokan atau jarak antara politisi dan masyarakat.
Menurut teori image building, citra terbentuk melalui tahapan penerimaan fisik oleh panca indra, yang kemudian disaring oleh perhatian (attention filter). Dari proses tersebut, muncul pesan yang dapat dipahami (perceived message), berkembang menjadi persepsi, dan akhirnya menciptakan citra (M. Wayne De Lozier, 1976:44). Citra dalam politik bukan sekadar alat atau strategi untuk memperkenalkan kandidat kepada pemilih, tetapi mencakup dimensi yang lebih kompleks, yaitu kesan yang terbentuk di benak pemilih. Kesan ini dapat berupa keyakinan yang didasarkan pada fakta maupun persepsi yang tidak sepenuhnya benar.
Dalam konteks ini, citra bukan hanya pesan yang sengaja dirancang oleh kandidat atau sekadar gambaran subjektif dari pemilih, tetapi hasil dari proses negosiasi, evaluasi, dan konstruksi yang terjadi di antara keduanya. Proses ini mencerminkan hubungan dinamis antara kandidat dan pemilih, di mana setiap tindakan, pernyataan, atau strategi yang dilakukan oleh kandidat akan dipahami, dinilai, dan disandingkan dengan nilai-nilai serta kepercayaan yang sudah ada dalam benak pemilih. Sebaliknya, respons pemilih juga turut membentuk bagaimana seorang kandidat merumuskan ulang citranya untuk memenuhi harapan atau mengatasi keraguan pemilih.
Dengan demikian, citra politik dapat dipahami sebagai sebuah transaksi sosial, di mana kandidat berusaha menciptakan kesan personal yang positif melalui berbagai strategi, sementara pemilih menafsirkan dan menyesuaikannya dengan kepercayaan, kebutuhan, dan pengalaman mereka. Proses ini menunjukkan bahwa citra tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai dengan interaksi dan kesalingbergantungan yang terus berlangsung antara kedua belah pihak.
Pencitraan politik melalui media sosial telah menjadi bagian penting dalam strategi komunikasi yang diterapkan oleh para aktor politik saat ini. Setiap platform media sosial menawarkan karakteristik unik yang memungkinkan pendekatan berbeda dalam membangun citra dan menarik perhatian publik. Instagram berfungsi sebagai alat strategis bagi politisi untuk membangun citra positif, menyampaikan pesan secara visual, dan mendekatkan diri dengan masyarakat. Twitter berfungsi sebagai saluran komunikasi cepat yang memungkinkan politisi merespons isu terkini dan berinteraksi langsung dengan publik, tetapi juga berisiko menciptakan polarisasi jika pesan yang disampaikan bersifat kontroversial. Sementara itu, platform TikTok yang sangat populer di kalangan anak muda, sehingga menjadi platform strategis bagi politisi untuk mendekati pemilih muda dan memperkenalkan visi mereka dengan cara yang menarik. Secara keseluruhan, keberhasilan pencitraan politik di media sosial bergantung pada kemampuan politisi untuk menyampaikan pesan yang menarik, autentik, dan relevan bagi audiens.
Penggunaan media sosial untuk pencitraan politik membuka peluang besar bagi kandidat untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat dengan cara yang lebih efektif. Namun, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh daya tarik visual atau tingkat aktivitas di platform, tetapi juga oleh relevansi dan keautentikan pesan yang disampaikan. Dalam era digital ini, publik tidak hanya sekadar mengonsumsi konten; mereka juga cenderung melakukan evaluasi terhadap informasi yang diterima. Walaupun media sosial memudahkan penciptaan citra, ia juga mempercepat keruntuhannya jika ada ketidaksesuaian antara citra yang ditampilkan dan realitas tindakan kandidat.
Berdasarkan penelitian yang dianalisis oleh Ahmad et al. (2024), media sosial telah menjadi elemen kunci dari strategi komunikasi politik dan membangun persepsi publik di era digital. Ridwan Kamil, sebagai salah satu aktor politik di Indonesia, secara aktif memanfaatkan Instagram untuk membangun citra dirinya menjelang Pilgub DKI Jakarta 2024. Platform ini digunakan untuk memproyeksikan citra pemimpin yang dekat dengan rakyat, inovatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Melalui unggahan foto, video, dan fitur interaktif seperti Instagram Story dan Live, Ridwan Kamil menampilkan berbagai aktivitasnya di lapangan, yang memperkuat kesan sebagai pemimpin yang responsif dan mudah diakses oleh publik.