Lihat ke Halaman Asli

nailahputri

Mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga

Tragedi Lebak Bulus, Apa Alasan di Baliknya?!

Diperbarui: 3 Desember 2024   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus pembunuhan di Kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan menghebohkan masyarakat Indonesia. Bagaiman tidak? Diketahui bahwa remaja usia 14 tahun membunuh ayah dan neneknya sendiri. Berdasarkan pengakuannya, perbuatan yang dia lakukan dilatarbelakangi oleh bisikan-bisikan yang muncul dalam pikirannya. Banyak pendapat saling bertolak belakang yang timbul akan masalah ini. Masyarakat berspekulasi jika perbuatan yang dilakukan sang anak tidak bisa dibenarkan. Pembunuhan di usia dini dengan target pembunuhan berasal dari keluarga sendiri merupakan suatu kasus yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan anak terhadap orangtua. Namun, Menteri PPDA dalam wawancaranya mengatakan jika sang anak memiliki kepribadian baik dan mengharapkan dukungan dari masyarakat untuk langkah selanjutnya. Khalayak pun menduga sang anak memiliki gangguan mental yang menyebabkan dirinya melakukan perbuatan tersebut. Apalagi, sang anak berasal dari keluarga berkecukupan dan tinggal di kawasan elite di daerahnya.

Menurut hasil penyelidikan, tragedi ini terjadi pada tanggal 30 November 2024 pukul 01.00 dini hari. Remaja berinisial A turun ke dapur di lantai 1 untuk mengambil pisau dan kembali naik ke lantai 2 dimana kamar pribadi dan kamar kedua orangtuanya berada. Sang anak ini masuk ke kamar orangtua nya dan langsung mengarahkan pisau ke ayahnya hingga ayahnya tiada. Sang ibu juga terluka parah, tetapi berhasil melarikan diri dengan loncat dari pagar rumahnya. Nenek nya yang mendengar keributan datang menghampiri dari kamarnya yang berada di lantai 1 dan nyawanya pun tak terselamatkan di tangan sang anak. Setelahnya, ia kabur ke luar di daerah sekitar rumahnya. Tetangga dan petugas keamanan yang mendapati sosok ibu yang penuh dengan darah melakukan pengejaran terhadap anak tersebut. Setelah bebarapa saat, sang anak berhasil ditemukan sedang bersembunyi di tempat minim cahaya di sekitar kompleks mereka.

Dari pernyataan beberapa tetangga sekitar, dapat diketahui jika A merupakan sosok yang baik, sopan, rajin beribadah, dan sangat pintar di kelasnya. Di usianya yang ke-14 tahun, ia merupakan seorang pelajar di bangku SMA. Bahkan ada tetangga yang mengatakan jika A sejak SD sudah sering tertidur di kelas karena dituntut oleh kedua orangtuanya untuk terus belajar dan belajar. Salah satu teman A mengungkap jika A sempat membuat status di media sosial nya pada tanggal 29 November sore hari yang berisi, "baru pulang sekolah sudah disuruh belajar lagi, padahal ujiannya masih hari Selasa." Dari beberapa pernyataan tersebut, dapat kita simpulkan jika sang anak mengalami tekanan dan tuntutan di bidang akademisi dari orangtuanya sejak dirinya masih kecil. Hal ini mungkin sudah tidak asing lagi mengingat sang anak merupakan anak tunggal dan kedua orangtuanya merupakan lulusan dari universitas ternama.

Kriminolog Haniva Hasna mengatakan sebenarnya siapapun memiliki dua sisi, positif dan negatif. Masing-masing individu punya kekuatan untuk melakukan kejahatan, tetapi kita punya kontrol diri sehingga tidak melakukan hal tersebut. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan anak umur 14 tahun melakukan perbuatan pembunuhan. Yang pertama adalah konflik yang berkepanjangan, ketika sang anak merasa jika orangtua atau keluarganya menjadi salah satu penyebab dirinya tidak bahagia. Atau mungkin sang anak memiliki sakit secara mental. Bisa jadi skizofrenia yang ditandainya dengan delusi dan halusinasi yang menyebabkan seorang anak memiliki pendengaran serta penglihatan yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, seperti yang dikatakan oleh sang anak pada pengakuannya. Secara visual, kita memang tidak bisa memastikan kebenaran dari ucapan sang anak. Yang dapat membuktikannya adalah pihak kedokteran dengan mendatangkan psikiater. Lalu ada hal-hal lain seperti dendam dan trauma masa lalu yang mebuat anak ini memiliki kebencian yang besar pada keluarganya. Hal ini biasa disebut 'Familisida', pembunuhan terhadap keluarga oleh bagian dari keluarga itu sendiri.

Kasus ini masih menjalani penyelidikan lebih lanjut dari pihak kepolisian. Akan tetapi, Pelajaran yang dapat kita ambil dari sini adalah pentingnya kesehatan mental bagi seseorang. Sakit secara fisik bisa dilihat secara langsung dan diobati. Sedangkan sakit secara mental merupakan penyakit tak kasat mata. Hanya bisa dipahami oleh diri sendiri. Pembelajaran juga buat para orangtua dalam mendidik seorang anak. Parenting menjadi bekal penting bagi tiap orangtua ketika sudah merasa siap untuk memiliki momongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline