Lihat ke Halaman Asli

Mengkritisi Undang-undang Berdasarkan Batas Usia Minimal Perkawinan

Diperbarui: 18 Desember 2021   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shutterstock

Perkawinan telah dilaksanakan sejak zaman dahulu oleh masyarakat. Pengertian perkawinan sendiri menurut Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 pasal 1 menupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sebuah batas minimal perkawinan.

Paska Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 yang mengatur batas usia perkawinan terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi " Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (Enam belas) tahun". Adapun perubuhan dari batasan usia perkawinan menurut Undang-Undang Nomer 16 Tahun 2019 terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi bahwa "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun".

Maka Undang-Undang tersebut terdapat perubahan kebijakan baru mengenai batas usia perkawinan khususnya bagi wanita. Dapat diartikan bahwa terdapat  kenaikan usia perkawinan dari yang semula 16 tahun berubah menjadi 19 tahun. Apabila terjadi penyimpangan atas ketentuan batasan usia tersebut maka orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertakan bukti-bukti pendukung yang cukup. Dalam hal ini terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomer 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Batas usia ini dinilai sudah cukup atau mampu melangsungkan suatu  tujuan perkawinan secara baik, sehingga tidak berakhir pada perceraian serta mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas. Akan tetapi masih banyak dikalangan masyarakat saat ini yang menikahkan anak mereka yang masih belum genap berusia 19 tahun.

Resiko dan/atau dampak perkawinan diusia dini yaitu dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang seorang anak dan menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak dasar bagi anak serta resiko kematian ibu dan anak yang tinggi. Adanya Undang-Undang (batasan usia perkawinan) tersebut diharapk dapat terpenuhinnya hak-hak atas anak sehinnga dapat mengoptimalkan tumbuh kembang serta memberikan akses pendidikan anak semakin tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline