Lihat ke Halaman Asli

Ketika Polantas dan Hakim Pengadilan (Klaten) Menjadi Sumber Ketidakadilan, ke Mana Saya Harus Mengadu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386951883177429644

Kamis 2 minggu (28/11) yang lalu saya mengendarai sepeda motor saya dari Solo menuju kota Jogja. Ketika melintasi Klaten ada razia yang dilakukan oleh Polantas setempat. Setelah memperlihatkan STNK dan SIM saya, saya heran saya diarahkan ke petugas yang menulis surat tilang. Tidak ada rambu lalu lintas yang saya langgar, lampu, spion, dll jg lengkap semuanya. Setahu saya hanya pajak motor yang telat, dan belajar dari pengalaman sebelumnya, yang juga saya tuangkan dalam artikel Haruskah Aku Membenci Polantas?, pajak bukanlah urusan Polantas.

Sebenarnya sudah dari kemaren2 saya ingin bayar pajak, tapi BPKB tidak kelihatan. Kalau bisa bayar tanpa BPKB, pajak saya pasti sudah bayar. Saya juga tidak ingin menghindari tanggung jawab saya sebagai warga Negara.

Well, ketika nama saya dipanggil, saya pun langsung bertanya sama Pak Polantas, “Lah salah saya apa Pak? Itukan cuma telat pajak. Pajak kan bukan urusan Polantas.”

“Mas, saya tidak menilang mas gara-gara Mas telat bayar pajak. Tapi karena ga ada stempel pengesahan (samsat) 2013 di STNK!” Jawab Polantas yang mungkin secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa STNK saya tidak sah.

Lah, ya jelas ga ada donk Pak! Saya kan belum bayar pajak, ga mungkin ada stempel samsat di situ! Lagian emang kita bisa ngambil stempelnya doank ke samsat, terus bayar pajaknya belakangan. Ini STNK kan berlaku sampe 2017?” tanya saya yang heran dengan pemikiran logika polantas tersebut. “Saya baru kena razia di Jogja Pak, dan Polantas yang merazia saya ga ada nilang saya kayak gini. Mereka cuma ngingatin saya untuk bayar pajak,” lanjut saya.

Polantas yang bernama Pak Jhoni tersebut bersikeras menyatakan saya bersalah dan menahan SIM saya. Padahal saya sudah menceritakan pengalaman saya sebulan yang lalu di kampung halaman. “Gini ya Pak, kalau Bapak keberatan, silahkan sampaikan kepada hakim pada saat sidang nanti” ujar beliau sambil menuliskan pasal 288 (1) Jo 70 (2).

Karena sebelumnya sudah tahu bahwa pengadilan hanya akan memutuskan sesuai dengan berkas yang diterima, saya pun menjawab, “Lha saya kan bermasalah di lapangan, dan setahu saya hakim memutuskan berdasarkan apa yang orang lapangan (Polantas) tulis. Dan pasal 288 itu tidak ada hubungannya dengan pajak pak. Saya bulan lalu baru dari pengadilan (di Sibolga) dan tidak ada masalah pajak disinggung dalam pasal itu”.

Polantas tersebut tetap saja ngotot dan berulang2 kali mengucapkan kalimat yang serupa “saya tidak menilang anda gara-gara Anda tidak bayar pajak, tapi gara2 tidak ada (stempel) pengesahan 2013 di sini. di Juncto 70 (2) disebutkan bahwa STNK harus disahkan tiap tahun.”

“Lah mana isi Juncto nya Pak?” tanya saya bermaksud ingin melihat buku yang berisi dari Juncto tersebut.

Polantas tersebut tidak dapat menunjukkan buku tentang pasal-pasal tersebut. Pertanyaan ini hanya ditanggapi secara lisan. Aneh menurut saya, bukankah seharusnya buku pasal2 pelanggaran lalu lintas menjadi bagian kelengkapan dalam melakukan razia. Nah, bagaimana bisa POLANTAS menuntut kelengkapan dari para pengendara sementara mereka tidak melengkapi diri mereka dengan buku-buku UU lalu lintas?

“Silahkan tanda tangan di sini pak!” kata Polantas tersebut sambil menyodorkan formulir tilang.

“Lah kalo saya tanda tangan, saya berarti setuju donk Pak kalau Bapak menyatakan saya bersalah? Gak Pak, saya nggak mau tanda tangan” ucap saya.

“Yauda mas, ntar mas ajukan keberatan ama Hakim aja di pengadilan” kata Pak Jhoni sambil menyodorkan surat tilang berwarna merah.

13869531372082607320

Setelah menerima surat tilang bernomor 0000439 tersebut, saya pun melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sorenya, di Jogja saya singgahkan sebentar ke pos polisi yang ada di jakal UGM. Kebetulan di sana ada dua POLANTAS. Saya ceritakan apa yang saya alami, dan saya tanyakan apakah memang saya harus ditilang. “Kalo masalah gini (telat pajak dan tentu tidak ada stempel pengesahannya) kita tidak pernah memberikan surat tilang Pak” kata petugas tersebut. Nah, untuk lebih memastikan bahwa saya benar, saya pun menghubungi teman saya yang kebetulan seorang Polisi dan seorang lainnya yang bekerja di samsat (dispenda). Setelah menceritakan apa yang saya alami, mereka menjawab bahwa saya seharusnya tidak mengalami masalah ini (ditilang).

Karena merasa janggal dengan hal ini, esoknya saya pun mendatangi Propam di Polres Klaten. Setelah menceritakan apa yang saya alami di sana saya pun diarahkan ke bagian Lantas Polres Klaten. Di sana saya dipertemukan dengan mas Didiek. Sayangnya, meski sudah bertemu dengan staf Lantas di sana, bukannya saya menemukan solusi, melainkan malah tambah bingung.

“Mas saya merasa bingung, sebelum-sebelumnya saya mengendarai motor saya (yang pajaknya mati) di Jogja saya tidak pernah di tilang. Tapi di Klaten kok di tilang dengan alasan tidak ada stempel pengesahan (2013)?” tanya saya.

“Iya mas. Kalau STNK itu harus dilengkapi dengan stempel pengesahan tiap tahunnya. Itu ada di Junctonya kok mas” jawabnya.

“Berarti kalau STNK saya tidak sah, POLANTAS-POLANTAS yang sebelumnya merazia saya dan tidak menilang saya, mereka semua bego donk mas? Uda tahu saya melanggar lalu lintas tapi saya ga ditilang?” tanya saya sambil menceritakan pengalaman saya ketika dirazia di Jogja.

“Masing-masing Polantas punya kebijakan sendiri-sendiri mas,” jawab mas Didik.

Waduh, pikir saya. Saya sangat heran mendengar jawaban mas Didik. Seolah-olah dalam kasus saya (dan kasus lainnya) masing-masing Polantas memiliki panduan/payung hukum yang berbeda dalam menjalankan tugasnya. “Lah bukannya semua Polantas ada di bawah POLRI mas? Ato jangan-jangan Polantas di Klaten di bawah Kepolisian Timor-Timur?”

“Buku yang ada isi jucntonya mana mas?” tanya saya penasaran ingin melihat.

“Kalau itu silahkan dilihat di internet. Banyak kok mas”.

Terus terang, jawabannya mas Didiek membuat saya terkejut. Bagaimana tidak, masa memperlihatkan buku UU Lalu Lintas aja tidak bisa. Padahal saya sedang berada di kantor SATLANTAS POLRES. Ga di lapangan ga di kantor sendiri sama saja. Setelah ditanyakan berulang-ulang mengenai buku tersebut, mas Didiek malah tunjukin hapenya yang berisi tentang kasus seperti yang saya alami.

“Wah kalo ada razia masyarakat diharuskan bawa perlengkapan SIM, STNK, dsbnya mas. Nah klo Polantas ga bawa perlengkapan saat razia, itu gmn mas? Kami (masyarakat) bisa “nilang” polantas ga?”

“Ya kami mohon maaf Pak klo ada kesalahan staf kami (terkait kasus saya)” jawab beliau sambil senyum-senyum ga jelas.

“Lah bapak enak banget bilang ‘maaf’. Solo-Klaten itu satu jam lhow Pak”, balas saya.

“Iya Pak. Ntar kalau Bapak masih keberatan silahkan sampaikan sama Hakim” sambungnya.

Waduh… Jawabannya sama saja dengan petugas di lapangan. Arrrgh… Kesel luar biasa saya jadinya. Mau tidak mau saya pun harus menunggu tanggal 13 Desember 2013.

Setelah 2 minggu lamanya menunggu, akhirnya tadi pagi, Jumat, 13 Desember 2013, jam 10 pagi saya sudah berada di pengadilan Klaten. Dari awal kejadian ini saya sangat berharap untuk dapat menyampaikan keberatan saya terhadap masalah ini kepada hakim. Sewaktu memasuki ruang sidang, kepada petugas yang ada di situ saya katakana, “Mas, saya mau sampaikan keberatan mas. Ini kan hanya masalah pajak. Saya sudah protes ama Polantasnya, tapi mereka bilang kalau keberatan silahkan ngomong ama hakim”.

“Ok mas. Silahkan tunggu di ruang sebelah (tempat pembayaran),” jawabnya.

Setelah menunggu 5 menit di luar, nama saya pun dipanggil dari ruang sebelah (tempat pembayaran). “35 ribu mas”, kata petugas yang ada di situ.

Sontak saya kaget. Kalau mereka bilang saya harus bayar 35 ribu, itu berarti saya dinyatakan bersalah. Padahal saya tadi ingin menemui hakim guna menerangkan bahwa ini hanya masalah pajak dan bukan pelanggaran lalu lintas. Belum sempat berbicara kepada hakim, eh hakimnya sudah jatuhin vonis begitu saja.

“Lah mbak, ini kan cuma mati pajak, kok kena tilang. Saya tadi mau nyampein ini sama hakimnya. Saya belum ngomong kok tiba-tiba maen vonis gitu aja?” tanya saya di bagian pembayaran.

“Lah masnya seharusnya tadi sampaikan ke hakimnya,” jawab mbaknya.

“Saya kan mau ngomong sama hakimnya. Tadi Bapak yang di dalam kan suruh saya nunggu di luar sini. Ya saya tunggu diluar. Lagi nunggu, kok tiba2 di suruh bayar,” jawab saya heran.

“Lagian telat pajak kan emang kena tilang mas. Bapak ini aja telat pajak di suruh membayar,” lanjut mbaknya.

Waduh… Pernyataan apalagi ini pikir saya. Kok bisa ya staf di pengadilan ngomong kayak gini. Padahal sudah jelas-jelas saya bahwa pajak tidak berhubungan dengan pelanggaran lalu lintas. Dan hal ini sudah saya tanyakan ke teman saya yang juga polisi dan juga staf dispenda yang bekerja di samsat. Hasil browsing di internet pun menunjukkan demikian. Kayaknya di pengadilan ini, orang yang telat bayar pajak kendaraan bermotor sudah biasa disidang.

Saya pun menemui Pak Hakim (tidak catat namanya) dan menjelaskan duduk permasalahannya. “Pak tadi saya mau sampaikan sama Bapak, ini hanya masalah pajak, saya beberapa kali kena razia di Jogja tidak pernah ditilang”.

Pak Hakim, beserta seorang Ibu (staf) yang disampingnya menyampaikan kepada saya bahwa mereka hanya memutuskan berdasarkan berkas yang mereka terima. Ibu yang ada di samping pak Hakim pun menambahkan, “Masnya seharusnya mengajukan keberatan kepada Polantasnya. Kalau di sini kita hanya memutuskan”.  Saya pun membalas, “Lah saya kemaren sudah sampaikan. Mereka yang bilang kalau saya keberatan, silahkan sampaikan kepada hakim di pengadilan nanti!”. Hal yang saya khawatirkan tentang saling lempar tanggung jawab pun terjadi dan terbukti.

Bukannya vonis bebas (atau setidaknya penjelasan yang memuaskan) yang saya dapatkan. Melainkan rasa KECEWA BESAR. Dua kali saya bolak-balik ruang pembayaran dan ruang sidang, tapi tak ada hasilnya. Saya sudah sampaikan bahwa saya tidak menandatangani surat tilang tersebut ketika saya ditilang. Dan saya datang ke sini untuk mencari keadilan. Ujung-ujungnya saya di vonis bersalah dan harus membayar denda tilang.

Sungguh terlalu. Jika selama ini saya melihat dan mendengar soal ketidakprofesional para hakim melalui berita, lewat kasus ini saya merasakan hal tersebut secara langsung. Jelas-jelas surat tilang tidak saya tanda-tangani. Bukankah seharusnya hakim berpikir dan bertanya ‘kenapa dan apa yang membuat saudara tidak tanda tangan?’ Dan sebelumnya, saat menyerahkan surat tilang saya sudah bilang saya ingin menyampaikan keberatan saya terhadap tilang ini kepada hakim. Namun tidak sedikit pun kesempatan berbicara diberikan kepada saya (sebelum vonis dibuat).

Keadaan ini sungguh memusingkan. Jika saya membayar itu artinya saya setuju jika saya dinyatakan bersalah. Padahal dari awal saya sudah yakin bahwa ini saya tidak melanggar hukum (lalu lintas).  Saya pun meninggalkan pengadilan tanpa membayar. Jika saya tidak membayar, bingung ntar kalo berhadapan dengan Polantas lagi.

Ketika Polantas menilang dengan sewenang-wenang, menyatakan bahwa kita bersalah atas tindakan yang “tidak” melanggar hukum, bisakah masyarakat “menilang” balik Polantas?

Ketika kita ke pengadilan mengadukan ketidakadilan, dan ternyata ketidakadilan baru yang kita dapatkan, dan itu kita dapatkan dari seorang yang disebut sebagai “hakim”, kemana kita harus mengadu?

Gak Polantas, ga Hakim, di Klaten semuanya sama saja.

luarbiasakecewa.com

*bagi teman2 mohon saran dan bantuannya ya...

silahkan baca:

Pajak Motor/Mobil Anda Mati? Polisi Gak Berhak Nilang

Pajak STNK Telat Apakah Dikenai Tilang?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline