Lihat ke Halaman Asli

Hakim Purnomo (PN Klaten) Membenarkan Kesalahan Polantas Nakal: Menilang Motor Telat Pajak (STNK Hidup sd 2017)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13872617151810079822

Kamis 28 November lalu saya mengendarai motor saya dengan nomor plat AB 2971 xx menuju Jogjakarta dari Solo. Tengah melintasi Klaten saya terpaksa berhenti karena ada razia. Setelah memperlihatkan STNK dan SIM saya diarahkan ke mas Jhoni, Polantas yang bertugas mencatat (surat/formulir) tilang. Saya merasa heran karena yang bermasalah hanya pajak motor saya (telat 3 bulan, STNK masih berlaku hingga 2017), selain itu lengkap semua. Dan berdasarkan pengalaman sebelumnya saya tahu bahwa telat pajak bukanlah bentuk pelanggaran lalu lintas.

Saya pun protes dan protes saya ditanggapi dengan jawaban yang sangat tidak logis. Pak Jhoni mengatakan bahwa dia tidak menilang saya karena saya telat bayar pajak, namun karena tidak ada stempel pengesahan (samsat) 2013 di STNK saya. Sungguh saya tidak dapat memahami alur pemikiran para Polantas yang bertugas di situ. Bukankah stempel samsat didapat saat kita membayar pajak tahunan kendaraan? Mungkinkah saya ke samsat meminta stempel “saja” lalu membayar pajaknya dikemudian hari ato bulan? Sebenarnya saya juga berusaha menjadi warga Negara yang baik. Saya ingin segera membayar pajak namun BPKB yang tak kelihatan tidak memungkinkan saya membayar pajak. Saya sendiri pada awal Juli lalu harus buru-buru kembali ke Medan guna melihat kondisi Mama saya yang oleh dokter divonis menderita Kanker Paru-paru stadium 4. Dua bulan setelah Mama meninggal (awal November) baru saya kembali ke Solo. Saya sudah berusaha mencari BPKB motor saya dan baru Sabtu 14 Desember saya menemukannya. Seninnya, 16 Desember, saya pun berangkat ke Jogja guna membayar pajak serta denda motor saya.

Pak Jhoni dan rekannya bersikeras bahwa saya bersalah dan menuliskan pasal 288 (1) Jo 70 (2). Karena saya membawa STNK yang masih berlaku tentu saya tidak melanggar pasal 288 (1). Saya merasa perlu melihat isi pasal ini karena sebelumnya saya pernah ditilang. Dan saat sidang di pengadilan, saya membaca isi pasal yang didakwakan pada saya tidak sesuai dengan kesalahan yang saya lakukan. Motor yang saya kendarai kebetulan mati pajak dan saya didakwa dengan pasal 288 (1) jo 106. Di buku UU yang ada di pengadilan saya tidak menemukan pernyataan yang menyinggung bahwa ketelatan membayar pajak merupakan bentuk pelanggaran lalu lintas. Berulang kali saya bertanya tentang buku yang memuat isi Jo 70 (2), Pak Jhoni tidak dapat menunjukkan. Apakah boleh saat razia Polantas tidak melengkapi diri mereka dengan buku UU Lalu Lintas? Padahal masyarakat diwajibkan untuk melengkapi diri mereka dengan SIM, STNK, dsb. Yakin tidak merasa bersalah, saya pun menolak untuk menandatangani surat tilang tersebut.

Ketika di Jogja saya menyempatkan diri untuk singgah di pos Polisi yang ada di sekitar kampus UGM, Pogung. Saya pun menceritakan apa yang saya alami kepada Polantas yang sedang bertugas di pos tersebut. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan penilangan untuk kasus seperti saya. Setelahnya saya pun menceritakan hal ini kepada teman saya yang juga berprofesi sebagai seorang Polisi dan seorang teman lainnya yang bekerja sebagai PNS dispenda di samsat Jakarta. Mereka semua mengatakan bahwa apa yang saya alami seharusnya tidak terjadi.

Berdasarkan hal-hal di atas, ditambah dengan pengalaman sebelumnya (yang saya tuang dalam artikel saya berjudul Haruskah Aku Membenci Polantas?) dan juga hasil browsing di internet yang menyatakan bahwa ketelatan membayar pajak bukanlah ranah kepolisian, saya pun merasa yakin bahwa saya tidak melakukan pelanggaran hukum. Esoknya (Jumat, 29/11) saya pun mendatangi Propam Polres Klaten guna melaporkan masalah ini. Oleh Propam saya kemudian dipertemukan dengan mas Bagus Didiek di bagian Lantas. Bermaksud mendapatkan kejelasan, eh malah kebingungan yang saya dapatkan. Mas Didiek membenarkan penilangan tidak logis yang saya alami. Dan ketika saya sampaikan bahwa saya telah beberapa kali melewati razia (saat motor mati pajak) di Jogja, Polantas di sana tidak menilang namun mengingatkan saya untuk membayar pajak, jawaban mas Didiek terdengar tidak professional. Mas Didiek mengatakan bahwa Polantas di tiap daerah kan berbeda alias tidak sama. Jawaban seperti ini seolah-olah menggambarkan bahwa Polantas di tiap daerah (dalam kasus saya), terlebih di Klaten, menggunakan payung hukum yang berbeda dalam menindak pelaku pelanggaran lalu lintas.

Pertemuan dengan mas Didiek juga tak ada hasilnya. Memang mengecewakan, terlebih ketika diminta untuk menunjukkan buku UU tentang pasal yang saya langgar Mas Didiek tidak dapat melakukannya. Mas Didiek hanya memperlihatkan satu kasus/berita tentang telat pajak (harus ditilang) melalui I-phonenya.  Dia juga menambahkan “silahkan browsing, di internet banyak kok Mas”. Bahkan di kantor Lantas sendiri pun Polantas tidak dapat menunjukkan buku UU Lalu Lintas. Aneh bukan? Mas Didiek, Pak Jhoni dan rekan sepertinya kompak soal tidak kepuasan saya. “Kalau masnya masih keberatan, silahkan ajukan keberatan kepada Hakim”. Begitulah omongan mereka. Dan berdasarkan pengalaman saya, saya menduga bahwa hakim ataupun petugas pengadilan akan mengatakan “seharusnya anda sampaikan keberatan kepada orang lapangan (Polantas)”.

Berbekal surat tilang berwarna merah dengan nomor 00004339 saya pun pergi ke Pengadilan Negeri Klaten pada hari yang tertera di surat tersebut (Jumat, 13/12). Sebelum menyerahkan surat tilang kepada petugas yang ada di pintu saya menyampaikan bahwa saya ingin mengajukan keberatan kepada hakim karena ini hanya masalah pajak (bukan pelanggaran lalu lintas). Si petugas menyuruh saya menunggu di luar.

Lima menit kemudian nama saya dipanggil dari ruang pembayaran. Petugas di situ mengatakan bahwa denda saya sebesar 35 ribu rupiah. Spontan saya kaget. Ketika saya dinyatakan harus membayar denda, itu berarti saya dinyatakan bersalah. Padahal sebelumnya menyerahkan surat tilang berwarna merah saya ingin berbicara kepada hakim guna menerangkan bahwa ini hanya masalah pajak dan bukan pelanggaran lalu lintas. Bukannya kesempatan berbicara kepada hakim yang saya dapatkan, eh hakimnya justru menjatuhkan vonis bersalah begitu saja.

Dua kali saya menemui hakim dan menyampaikan keberatan saya atas vonis ini. Namun hakim berkilah bahwa vonis telah resmi dijatuhkan, tidak dapat ditarik kembali. Saya disarankan untuk membayar denda guna menebus SIM. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa hakim membenarkan kesalahan Polantas dalam menjalankan tugasnya. Hakim membenarkan bahwa ketelatan membayar pajak merupakan tindak pelanggaran lalu lintas. Tiap kali berbicara kepada hakim, tiap kali pula hakim dan staf pengadilan lainnya mengatakan bahwa saya seharusnya menyampaikan keberatan di lapangan, bukan di pengadilan. Jawaban seperti ini sudah saya duga sebelumnya. Polantas dan pengadilan tampaknya saling lempar tanggung jawab.

Saya sungguh kecewa dengan hakim yang seenaknya menjatuhkan vonis. Jelas-jelas surat tilang tidak saya tanda-tangani karena saya tidak merasa melakukan tindak pelanggaran lalu lintas. Bukankah seharusnya sebelum menjatuhkan vonis ada pertanyaan mengapa saya tidak menandatangani surat tilang tersebut. Padahal saya juga sudah mengatakan bahwa saya ingin menyampaikan keberatan saya kepada hakim (saat menyerahkan surat tilang kepada petugas).

Keputusan hakim ini terasa sangat tidak adil bagi saya. Bermaksud ingin mendapatkan keadilan, malah divonis ketidakadilan. Ini bukan sekedar 35 ribu rupiah atau 2 hari kurungan. Ini bukan masalah 1 jam perjalanan motor Solo – Klaten. Jika saya membayar denda, itu berarti saya setuju dengan kesalahan Polantas. Ini juga berarti saya mendukung hakim yang telah membenarkan kesalahan tersebut.

Jika saya tidak membayar, maka SIM saya tetap ditahan dan saya kesulitan untuk bepergian. Saya sungguh sangat bingung. Saya pun meninggalkan Pengadilan Negeri Klaten tanpa membayar denda tilang (menebus SIM). Namun setelah saya pikir-pikir, motor sangat vital bagi saya, dan demi kelancaran saya saat bepergian, saya pun dengan sangat terpaksa melanggar isi hati saya. Selasa pagi (17/12) saya ke kantor Kejaksaan Negeri Klaten untuk mengambil SIM saya. Setelah mengetahui (dari staf Kejaksaan) nama Hakim yang memberi vonis bersalah kepada saya adalah Pak Purnomo, saya pun membayar denda sebesar Rp. 35.000. Sepertinya saya telah melakukan apa yang dikatakan oleh seorang staf (Ibu) yang duduk di samping Hakim, “Mas silahkan bayar aja. Walaupun vonis mengatakan mas bersalah, hati mas pasti bilang tidak bersalah”.

Kalau sudah seperti ini, kemana lagi ya saya harus mengadu?

Must-read articles

1.http://news.detik.com/read/2013/04/19/165246/2225295/10/hakim-bebaskan-terdakwa-tilang-telat-bayar-pajak-tahunan-stnk

2.https://www.facebook.com/media/set/?set=a.10151537212051066.1073741827.312145266065&type=3

3.http://jogja.tribunnews.com/2013/02/12/pajak-stnk-telat-apakah-dikenai-tilang/

4.http://lampost.co/berita/pajak-mati-polisi-tidak-berhal-menilang

5.http://www.pajakku.com/index.asp?module=news&task=detail&title=Pajak-Kendaraan-Mati-Pilisi-tidak

6.http://www.kaskus.co.id/thread/516d45960a75b4631d000009/pajak-motor-mobil-anda-matipolisi-tidak-berhak-menilang/1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline