Lihat ke Halaman Asli

Nahlu Hasbi Heriyanto

Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris

Eksistensi Mata Kuliah Agama di Perguruan Tinggi

Diperbarui: 8 Juni 2023   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu seputar pendidikan agama di Indonesia akan dihapuskan. Seperti biasa, media sosial sedang gempar. Karena banyak masyarakat Indonesia yang tergolong antusias dalam menjalankan agamanya, tidak heran jika banyak pihak yang menentangnya. Namun, belakangan diketahui bahwa isu ini hanyalah hoax. Penulis sebagai mahasiswa yang pernah merasakan langsung bagaimana pendidikan itu, memiliki pendapat lain bahwa mata kuliah agama bisa saja dihapuskan di tingkat universitas karena kurikulum dari pemerintah tidak bisa mencakup semua ekspresi keagamaan, dan materi pembelajarannya tentu tidak netral bisa saja sudah bercampur dengan pemahaman dosen.

Sepertinya mata kuliah agama bisa saja dihapuskan di tingkat universitas. Kurikulum dari pemerintah tentunya tidak bisa mencakup semua ekspresi keagamaan. Pembakuan muatan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan aliran agama tertentu akan menjadi tidak sesuai ketika peserta didik menganut aliran yang berbeda. Apalagi standardisasi yang biasanya hanya didasarkan pada institusi tertentu hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan mahasiswa. Selanjutnya, mahasiswa yang aliran keagamaannya tidak tercakup dalam kurikulum pemerintah akan merasa seperti termarginalkan. Menurut situs www.jppn.com, praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengatakan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan oleh orang tua masing-masing atau melalui ustadz di luar sekolah." Mengapa agama seringkali menjadi alat politik? Karena agama masuk dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran agama. Akhirnya mereka merasa berbeda," kata Darmono usai meninjau bukunya yang ke-6 berjudul Membawa Peradaban. Bersama di Jakarta, Kamis (4/7).

Tentu pemahaman dosen bisa tercampur ke dalam bahan ajar sehingga tidak lagi netral. Artinya jika penceramahnya berasal dari sekte agama tertentu. Tentu saja, dia tidak bisa lagi berlaku adil terhadap siswa dan akan cenderung memihak pada mereka yang satu sekolah agama dengan gurunya. Artinya juga akan sangat berbahaya ketika guru secara diam-diam menanamkan ide-ide berbahaya seperti kebencian dan radikalisme saat mengajarkan agama kepada siswa. Menurut situs www.tempo.co, pada 16 Oktober 2018, mereka menerbitkan berita berjudul: "57 Persen Guru Berpendapat Intoleransi". Disebutkan bahwa hasil penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menunjukkan bahwa 57% guru memiliki pandangan intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37.

Sebaliknya, jika mata pelajaran agama ditiadakan, maka siswa akan berakhlak buruk dan hidup tanpa arah. Namun, solusi untuk masalah ini adalah dengan mempelajari agama secara otodidak di luar universitas. Siswa dapat memilih guru spiritual atau lembaga yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Misalnya, mereka bisa belajar agama di lembaga nonformal seperti gereja, Halaqa (perkumpulan yang mempelajari Islam dan Alquran), dan Pasraman (lembaga pendidikan khusus yang berbasis agama Hindu-Buddha).

Bagi sebagian orang mungkin berpikir bahwa penghapusan mata kuliah agama di tingkat universitas adalah ide yang buruk. Ringkasnya, penulis memaparkan dua alasan utama mengapa mata kuliah agama tidak relevan untuk diajarkan di tingkat universitas. Pertama, kurikulum dari pemerintah tidak bisa mencakup semua ekspresi keagamaan. Kedua, materi pembelajaran tentu tidak netral karena bisa saja tercampur dengan pemahaman dosen. Akibatnya, mata kuliah agama di tingkat universitas perlu dipertimbangkan lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline