Lihat ke Halaman Asli

My Love for My Life

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

It's Me

“K

riiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinngggggggggg”.

Nyanyian jam wekerku dipagi hari itu memaksaku tuk membuka mata. Namun sayangnya hanya tanganku yang mampu meraba-raba untuk maraih jam yang sudah merusak mimpi indahku itu.

“Dasar jam sialan!!!! gak tau orang lagi seru ya mimpinya? Ganggu aja.”kataku sambil menarik kembali selimutku untuk kembali mengarungi dunia mimpiku. Tapi ternyata hal itu tak bisa terlaksana karena sebuah suara yang amat sangat ku kenal berteriak-teriak depan kamarku.

“Non.....Non Anes......sudah jam 7 Non.....!!!!!!!!”

“Whaaaaaaaaattttttt????????”, sontak ku terbangun, “Jam 7?GILA!!!!!!!!gue kan kuliah jam 8. mampus deh!” gerutuku seraya turun dari atas tempat tidur bersprei biru langit dengan gambar fairy kesayanganku.

Bergegas ku meraih handuk dan masuk kedalam kamar mandi karena hari ini aku sama sekali gak berniat menantang Pak Ghufron yang super duper killer itu dengan datang terlambat pagi ini. Aku menyelesaikan ritual mandiku hanya dalam 15 menit saja. Keajaiban buatku. Yah, meski tidak bisa berlama-lama dikamar mandi tapi yang penting aku harus sesegara mungkin siap-siap karena perjalanan dari rimah ke kampusku butuh waktu setengah jam alias 30 menit dengan mobil. Tapi itu belum ditambah kata MACET. “Oh, Gosh!! hari ini aku akan terlihat kacau dengan dandanan terburu-buruku. Sial!!!”, umpatku dalam hati.

Aku bergegas turun menuju meja makan setelah selesai menguncir rambutku asal-asalan. Bagiku ini adalah penampilan terburuk untuk masuk kampusku. Aku mencomot selapis roti dengan selai nanas kesukaanku sambil berteriak....

“Mang Asep,panasin mobil donk!!! Udahhampir telat nih!”

“Oyi Non!!!” sahut mang Asep dengan sentuhan bahasa gaya malangannya.

“Bi Minah, Bunda sama Ayah kemana?”tanyaku saat Bi Minah menyiapkan susu coklatku.

“Tuan kan gak pulang Non, kalo Nyonya ke salon katanya”

“Lha? Kemana Ayah? Trus ngapain Bunda ke salon pagi-pagi?”

“Tuan mungkin ke luar kota seperti biasa, kalo Nyonya katanya mau ke resepsi pernikahan tamennya jam 9, jadi ke salonnya pagi-pagi banget”, jelas Bi Minah panjang lebar.

“Mesti gitu. Bikin males di rumah aja!! Ya udah Bi, Anes berangkat ya.”, Pamitku sedikit jengkel.

5 menit kemudian mobil Avanza silver milikku memecah jalan raya menuju kampusku.

■■■

Namaku adalah Anesta Wijaya. Anak tunggal dari seorang pengusaha ternama di kota Malang. Ibuku juga bukan ibu rumah tangga yang doyan dirumah, tapi dia adalah seorang pemilik butik yang sukses. Jadi pasti bisa dibayangkan bukan bagaimana mewahnya kehidupanku. Anak tunggal dari pasangan yang kaya raya. Bahkan mungkin banyak orang yang berpikir bahwa kehidupanku sangat penuh dengan kasih sayang orang tua. Maklum anak sematawayang. Tapi sebenarnya semua anggapan itu salah. Aku memang hidup dalam kemewahan, tak pernah ada keinginanku yang terlewatkan. Tapi soal kasih sayang, aku adalah anak paling miskin di dunia (itu yang ada dalam benakku selama ini). Orang tuaku yang pengusaha dua-duanya begitu sibuk dengan dunianya masing-masing. Ayahku selalu pergi keluar kota dan ibuku selalu ribet dengan arisan ibu-ibu yang gila fashion. Dan akhirnya aku yang harus menelan rasa kesepian.

Keluar dari nasib burukku yang memiliki orang tua super sibuk itu, aku cukup beruntung dalam pergaulan. Aku punya banyak teman dikampusku juga teman-teman sejak masih memakai putih abu-abu dulu. Merekalah yang selama ini setia menemaniku ketika kesepian yang menyelimuti hari-hariku.

Lalu, untuk masalah fisik. Aku bukan orang yang beruntung dalam hal tinggi badan sebab aku adalah cewek dengan tinggi badan yang paling rendah di antara teman-temanku. Tapi untuk wajah tunggu dulu. Aku termasuk cewek imut berkulit putih yang menarik. Buktinya saja jumlah cowok yang mengantri untuk jadi cowokku gak cuma satu atau dua orang,hehe....bangga juga. Tapi sayangnya sampai sekarang gelarku masih “JOMBLO” alias gak punya cowok. Kalau ditanya kenapa? Yah mungkin aku yang sulit jatuh cinta. Atau terlalu banyak kriteria. Mungkin yang kedua lebih tepat sebagai jawaban.

Aku memang pemilih untuk masalah pacar. Bukan karena aku sok jual mahal, tapi aku gak mau salah pilih aja. Aku tipe orang yang gak main-main dalam hal cinta. Dan tenyata cowok-cowok yang selama ini mendekatiku sama sekali gak menunjukan keseriusannya. Itulah kenapa aku betah menjomblo hingga sekarang.

Ops, hampir lupa. Aku sekarang baru 19 tahun dan sedang kuliah semester III jurusan Manajemen di sebuah kampus swasta di Malang. Sebenarnya aku adalah orang Bandung, tapi karena orang tuaku punya bisnis di Malang jadi aku sudah 15 tahun ada di bumi Arema ini.

Apa lagi ya? Ehm, aku orang cukup feminin tapi cuek dengan keadaan sekitar. Bukan karena aku tidak punya jiwa sosial dan solidaritas sesama manusia, tapi aku pikir hidupku saja sudah bertumpuk dengan segudang masalah jadi aku tidak perlu memikirkan masalah orang lain. Ngomong-ngomong soal masalah, aku memang orang yang banyak memiliki problem hidup. Salah satu yang paling seraing membelitku adalah masalah keluarga. Keluargaku memang jarang bertemu atau bahkan berkumpul. Semua serba individualis. Inilah yang membuatku tak pernah betah dirumah. Aku juga mungkin bisa dibilang tumbuh menjadi cewek yang sedikit badung karena masalah ini. Sering pulang malam, belanja gila-gilaan, bolos kuliah dan masih banyak lagi kenakalan yang terjadi hanya karena kurangnya perhatian orang tuaku. Tapi dari semua itu aku cuma berharap aku tidak menjadi remaja yang tersangkut pada masalah narkoba atau pergaulan bebas, karena aku gak mau masa mudaku yang sudah amburadul tambah rusak dengan semua itu.

Sekarang masalah agama. Ini yang paling membuatku bingung. Kedua orang tua berKTP Islam. Aku pun juga begitu. Tapi aku gak pernah tau apa itu agama Islam. Sholat saja aku hanya sekedar tau tanpa mengerti. Itupun bukan dari orang tuaku, tapi dari teman-teman yang Islamnya pun masih alakadarnya. Sampai sekarang aku masih merasakan kekosongan karena masalah ini. Tapi aku tak pernah punya keinginan untuk mengisinya. Aku pikir bila sudah waktunya semua akan terjadi.

■■■

Aku sampai dikampus jam 08.05. “Gawat!!!”,batinku. Aku segera menaiki tangga menuju lantai dua untuk menuju kelasku. Seperti dugaanku, pak Ghafur, dosen yang terkenal sebagai The Vampire Teacher sudah mulai ceramah akbarnya.

“Tok...tok...tok...”, aku mengetuk intu pelan.

“Silahkan tunggu diluar!!”, perintahnya padaku dengan nada yang cukup garing. Sama sekali gak rengah.

“Baik, Pak!”

Aku menunggu didepan pintu kelas sambil bersandar. “Alamat kena semprot gue!” kataku mengumpat dalam hati.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian Pak Ghafur keluar ari kelas dan menatapku dengan tajam. Aku hanya mampu tertunduk lesu sambil membayangkan apa yang akan dia katakan.

“Siapa nama saudara?”, katanya dingin.

“Anesta, Pak.”

“Hhmm, Anesta Wijaya? Benar?”

“Waduh, nih orang tau darimana lagi nama lengkap gue? Jangan-jangan udah di incar lagi gara-gara gue asal-asalan ngerjain tugasnya kemaren....aduh....mati gue.....”,batinku.

“Anesta? Benarkan anda Anesta Wijaya putri sematawayang dari bapak Agus Kusuma Wijaya?”, katanya menyadarkanku dari lamunan.

“I....iy...iya Pak. Maaf Pak, anda tau darimana ya nama lengkap saya plus nama ayah saya?”,tanyaku hati-hati.

“Hahaha....nanti saudara juga akan tahu. Sekarang jelaskan kenapa anda terlambat pagi ini!!!”, perintahnya tanpa menghiraukan keingintahuanku.

“Maaf Pak, tadi saya terlambat bangun karena tadi malam saya lembur untuk engerjakan tugas dari Pak Waluyo.”, kataku sedikit beralasan.

“Oh, benar begitu?”, tanya Pak Ghufron sedikit ragu.

“Benar Pak.”

“Baiklah kalo begitu, silahkan masuk. Tapi ini yang terakhir kali anda terlambat pada mata kuliah saya.”

“Baik Pak.”, kataku lega, “untung dia gak nyinggung tugasku kemaren”, batinku. Tapi ternyata....

“Oia, satu lagi. Saya minta anda mengerjakan ulang tugas yang minggu lalu saya berikan pada anda. Saya lihat anda kurang maksimal dalam mengerjakannya. Mengerti?”

“Ba...baik Pak.”, sahutku gugup. “Ah, gue pikir dia udah lupa. Alamat kerja lembur lagi ntar malem nih.”, keluhku.

■■■

“Ok. Sekian kuliah kita kita kali ini. Selamt siang!!!”, Pak Ghafur menutup kuliahnya hari ini. Ah, Lega juga akhirnya 3 jam yang melelahkan bersama Pak Ghafur itu selesai. Rasanya sudah seperti di oven di dalam kelas itu. Apalagi Malang sudah tak sedingin dulu. Jadi bisa dibayangkan kan betapa panasnya????

“Nes, ke kantin yuk?”, ajak Shafira. Dia teman baikku sejak semester satu. Dia anak seorang anggota DPR-D Malang yang nasibnya gak jauh beda sama aku. Alias kurang perhatian. Mungkin karena itu juga kami jadi dekat. Kami senasib.

“Ok, tapi anterin gue ke toilet dulu ya Ra.”

“He'em”.

Aku dan Fira (begitu panggilan akrabku pada Shafira) berjalan di koridor menuju kantin setelah lebih dulu menata penampilanku yang tadi acak-acakan di toilet. Saat berjalan tiba-tiba Shafira menyenggol lenganku.

“Kenapa?”, tanyaku heran. Fira tak menyahut pertanyaanku tapi memandang seseorang yang sedang berjalan menuju ke arah kami.

“Duh, kenapa ada dia sih? Males deh. Gimana dong Fir?”,kataku sedikit panik. Orang yang dari tadi menjadi sumber kepanikanku sekarang sudah tepat berdiri dihadapanku. Menatapku mesra, eh, mesra apa seram ya?

“Nes, gue mau ngomong sama lo.”, katanya datar dan sumpah deh garing banget.

“Ngomong ja langsung.”

“Gue gak bisa ngomong disini Nes”.

“Ok. Disini atau gak usah ngomong sekalian”.

“Nes, please. Gak usah kayak anak kecil.”

“What?helllllo!!!!! Siapa ya yang kayak anak kecil”, kataku sedikit jengkel.

“Ini penting Nes”.

“Ok kalo lo gak jadi ngomong gue mau ke kantin. Laper!”, kataku sambil ngeloyor tak memperdulikannya lagi.

Dia itu (yang barusan ngomong ma aku) Dendi. Cowok yang beberapa hari lalu aku tolak cintanya. Dendi sebenernya baik, ganteng, tinggi, jago olahraga, pengertian dan tajir. Tapi ada satu yang bikin aku ilfil berat ma dia. Dia itu manja abis. Uh, aku benci anak manja. Aku aja yang anak tunggal jarang diperhatiin ma orang tuaku. Masak seorang Dendi yang notabene anak pertama dari tiga bersaudara itu manja banget ma mamanya. “hih, amit-amit deh punya cowok kayak gitu”.

“Nes, kok Dendi ditinggal sih? Kasian tau!”, kata Fira saat kami hampir sampai di kantin kampus.

“Males Fir. Tadi kan udah gue kasih dia kesempatan buat ngomong, tapi dianya aja yang kelamaan. Jadi bukan salah gue dong”, kataku membela diri.

“Dasar!!!”, kata Fira sambil menggelangkan kepalanya menyadari cueknya aku pada makhluk Tuhan yang bernama cowok.

Sampai dikantin hidungku tergoda pada aroma nasi goreng dari stan nasi goreng yang berada paling pojok di dekat stan penjualan aneka juice. Fira sendiri lebih memilih untuk memesan cwie mie kesukaannya. Kami memesan juice alpukat sebelum akhirnya sibuk mencari-cari tempat duduk yang nyaman untuk kami singgahi. Fira mengajakku menuju sebuah tempat duduk didekat stan mie ayam. Jadilah kami menyantap makanan kami berdua. Berdua? Sepertinya tidak................!!!!!!



Siapa Sih Lo???

“H

ai…..!!!!!”

Aku dan Fira saling berpandangan melihat cewek yang tiba-tiba ngeloyor duduk dimeja kami sambil membawa semangkok mie ayam dan juice wortelnya.

“Boleh ikut duduk disini kan? Yang lain dah pada penuh nih?”, katanya dengan WWTB alias wajah-wajah tak berdosa. Reflek aku dan Fira mengedarkan pandangan ke seantero kantin. Ternyata memang kantin udah penuh dengan mahasiswa yang kelaparan.

“Boleh ya?”, Tanya Elsa kembali.

“Oh, tentu!!!” jawab Fira sok legowo. Padahal aku yakin dalam otaknya mengatakan seperti yang aku katakana, “TIDAAAAAAAAAAAAK!!!!!”. Bukan apa-apa sih, Elsa Sukma Wulandari alias Elsa itu bukan orang yang enak buat di ajak ngobrol soalnya dia itu masuk kategori orang-orang yang TELMI. Tapi sayangnya dia itu kelewat baik plus ramah, jadi semua orang yang mau nolak dia jadi super duper sungkan. Oia, satu lagi. Dia itu adalah ratu GOSIP kampus yang selalu hobi ngomongin orang.

“Ehm, kalian tahu gak kalo di jurusan kita bakal ada penghuni baru?”

“Tuh kan mulai lagi penyakitnya……pfiuh……”, batinku sambil menatap Fira.

“Katanya sih dia bakal ditempatin di kelas lo-lo pada. Kan kela lo Cuma 23 orang, jadi maih bisa nampung deh.”, lanjutnya lagi.

“Kok lo bisa tau El?”, Tanya Fira.

“Ada aja deh. Pokoknya kalian pasti bakal suka sama dia, soalnya dia itu cakep.”, wajah Elsa berseri-seri.

“Oh, cowok to? Pindahan ya?” tanyaku ikutan nimbrung dalam pembicaraan yang sebenarnya gak terlalu menarik.

“Katanya sih dari Bandung.” Jawab Elsa.

“Ow, kita mau kedatengan orang USA Fir,hahaha….”, celetukku sedikit bercanda.

“Lho kok USA, Bandung Nes….Sunda….”, kata Elsa gak nyambung dengan guyonanku.

“Maksudnya USA tuh Urang Sunda Asli El….hehehe”, kata Fira menjelaskan.

“Owh, bilang dong kalo pakek sinkatan baru, kan biar gue gak kelihatan bego.hehe…”. kata Elsa yang cuma ditanggapi tawa tertahan olehku dan Fira.

“Elunya aja yang cupu jadi gak ngerti istilah gaul, hehe…..”, batinku geli.

▪▪▪

Siang itu begitu panas. Seolah matahari ingin memanggang daging-daging yang hidup di bumi ini. Keringatku menetes meninggalkan peluh basah dikeningku. Padahal AC sudah menyala di ruang kelas yang saat ini aku tempati bersama 22 orang mahasiswa lainnya. Aku melihat Pak Karim juga kepanasan saat menjelaskan tentang materi Manajemen Penbankan yang cukup rumit itu. Disaat lamunan yang semakin menjadi itu datang Pak Hambali, Ketua Jurusan Manajemen yang terkenal berwibawa dan ramah itu. Beliau datang dengan seorang cowok berperawakan tinggi sekitar 180 cm, putih, rambut hitam, hidung yang gak mancung tapi juga gak pesek serta dengan mata hitam yang tajam. “Cakep dan cool. Tapi siapa dia?”, batinku kagum.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Pak Karim, Pak Hambali menghadap barisan mahasiswa dan kemudian berbicara dengan cukup lantang.

“Selamat siang saudara-saudara! Hari ini kita kedatangan teman baru di jurusan Manjemen. Dia mahasiswa trans dari Bandung.” Kata Pak Hambali memperkenalkan cowok itu. “Nah, silahkan perkenlkan diri kamu secara singkat kepada teman-teman barumu.”, kata pak Hambali yang disambut dengan senyuman lembut oleh cowok itu.

“Baik. Selamat siang semuanya. Nama saya Bayu Yudha Esa Putra. Cukup dipanggil Bayu. Saya pindahan dari Bandung. Dan sekarang saya pindah ke Malang karena Ayah saya dipindah tugaskan disini. Terima kasih.”, singkat dan lugas cowok itu memperkenalkan diri. “kayaknya nih anak ramah. Tapi biasanya cowok kan emang ramah di kesan awal.” Pikiranku mulai berprasangka.

“Nah, Bayu. Silahkan duduk. Kamu bisa langsung ikut mata kuliah Pak Karim.”, kata Pak Hambali sebelum meninggalkan kelas.

“Terima kasih Pak.”

Cowok bernama Bayu itu duduk di depan tempat duduk Fira. Aku memandangnya saat duduk. Wajahnya terlihat tenang. Aku melirik ke arah Fira. Dia juga sedang memandangi Bayu. Tapi yang aku rasa pandangan Fira itu lebih pada kata “tertarik”. Aku rasa sahabatku ini sedang jatuh cinta. Tapi biarlah, toh kalo memang iya, Bayu bukanlah pilihan yang buruk. Aku rasa.

▪▪▪

Waktu yang bergulir

Tak terasa tkah ku dekap

Tiga percintaan kisah di hidupku

Lelah ku menilai

Sangat menyesak di dada

Bagai dua sisi

Kulihat berbeda didirimu

Jika detak jantungku berhenti

Hilang semua cemas hati

Dalam hati biru ku bertanya

Jika dapat aku memilih

Cinta mana yang ku pegang

Jauh jika ku gapai hatimu

Lagu Tiga Cinta dari Melly Goeslow mengalun lembut dalam mobilku yang kini meluncur menuju MATOS alias Malang Town Square. Aku dan Fira memang sering kesana ketika jenuh pada suasana kuliah yang cuma begitu saja. Kadang kami juga pergi ke kafe-kafe yang viewnya cukup bagus untuk dinikmati.

“Gak kebayang ya Nes kalo kita ada dalam kondisi mesti milih satu di antara tiga cinta kayak lagu ini.”, Fira tiba-tiba mulai membuka suara.

“Ya gak lah.”, aku mengulum senyum, “Gak pengen ngebayangin disuruh pacaran ma satu cowok. Apalagi mesti milih satu di antara tiga cowok. Ngaco deh.”, seringaiku sambil tetap konsentrasi pada setir mobilku.

“Elu sih gitu Nes. Jangan-jangan gak normal lagi. Hih, amit-amit deh. Hehehe…”

“Enak aja lu ngtain gue gak normal. Lu kan juga lama gak punya cowok. Jadi gak usah pake menghina ye Non….”, kataku gak mau kalah.

“Habis elu juga Nes yang mesti ngeles kalo ngomongin cowok. Pasti alasannya gak ada yang asik lah, gak ada yang seru lah, gak yang apa lah. Ada aja alasannya.”

“Ya emang kenyataannya gitu Fir. Mereka itu kebanyakan bikin garing suasana. Gak ada yang sreg di sini.”, sergahku sambil menunjuk dadaku sendiri untuk meyakinkan Fira.

“Bukannya gak ada yang sreg. Lu nya aja yang gak mau buka hati buat tuh cowok-cowok.”, kata Fira menyadarkanku. Mungkin memang benar. Aku terbiasa menganggap setiap cowok yang mendekatiku sebagai angin lalu dan gak pernah member mereka kesempatan untuk sekedar saling mngenal denganku.

“Lu inget si Andi kan? Dia tu sebenarnya udah cinta mati ama lu Nes. Tapi malah lu tolakmentah-mentah gitu. Kasian kan. Terus juga si Aziz. Dia kan orangnya baik banget ama lu. Tapi lu cuma bilang udah keburu enak jadi temen ama dia. Terakhir si Dendi yang ampek sekarang masih getol gitu ngedeketin elu. Mereka kan masih masuk golongan cowok yang ok di kampus kita Nes.”, Fira sedikit geregetan menasihatiku.

“Fir…Fir…udahlah. Namanya juga gak sreg. Masa’ mau dipaksain. Kan malah gak enak entarnya.”, kataku mengakhiri pembicaraan yang menurutku konyol ini saat mulai memasuki pelataran perkir MATOS.

“Elu mesti gitu kalo dibilangin.”, kata Fira akhirnya. Aku hanya menyahut dengan senyuman dan mengangkat bahuku.

Lima menit setelah itu kami sudah menginjakkan kaki ke dalam mal yang baru beberapa tahun dibangun itu. Suasana cukup lenggang karena hari ini memang hari rabo. Aku dan Fira berjalan menuju escalator ke lantai dua. Kami akan menuju ke toko buku disana. Fira penggemar berat buku dan setiap minggu dia pasti akan membeli setidaknya dua buku baru. Apapun jenis bukunya asal dia suka pasti akan dia beli. Aku sendiri memang suka membaca tapi tidak sampai semaniak itu. Aku pun biasanya cuma betah berlama-lama jika mataku menelusuri huruf-huruf dalam novel atau komik. Selain itu, mungin belum sampai satu jam aku sudah K.O terlebih dulu.

Saat kami masuk ke dalamtoko buku itu, Fira tanpa di komando langsung menuju ke bagian buku-buku psikology, dan aku pun menuju deretan novel terbaru. Beberapa menit mengitari rak-rak berisi novel, belum ada satu judul pun yang menarik buatku. Akhirnya aku putuskan untuk turun ke lantai bawah toko buku itu. Di sana terdapat beberapa perlengkapan seperti tas sekolah, dompet, alat tulis, buku tulis dan agenda serta beberapa aksesoris lucu untuk hiasan ruangan. Di bagian depan dekat dengan pintu masuk toko terpajang berbagai macam VCD dan kaset lagu serta film. Dan yang lebih lengkap lagi ada alat-alat music seperti orgen, gitar, biola dan drum kecil yang melengkapi toko itu. Cukup lengkap kan?

Aku melihat-lihat tas dan dompet. Ada beberapa dompet yang berkesan lucu tapi sporty yang menarik. Dompet itu berwarna biru dan putih. Ada gambar teddy bear kecil di bagian depan. Harganya pun tidak terlalu mahal bagiku, hanya Rp. 79.000,-. Aku ambil dompet itu dan beralih ke tempat VCD dan kaset di bagian depan. Aku berniat untuk mencari film terbaru. Aku memang hoby menonton baik di bioskop, TV maupun VCD atau DVD.

Aku sedang melihat-lihat film seri korea saat pandanganku terusik oleh seseorang yang lewat di depan toko buku dengan membawa tas ransel dan berkaos orange dan merah yang biasa di paki pegawai foodcourt. “Kok kayak si Bayu ya?”, batinku menebak-nebak. Pandanganku mengikuti sosok itu hingga menghilang melewati toko. Awalnya aku cukup penasaran dengan orang yang baru saja lewat itu, tapi kemudian aku berkata pada diriku sendiri, “Ah, bodo! Mau Bayu atau siapa aja kan gak ada urusannya ma gue”.

Aku mengambil sebuah VCD film korea berjudul Personal Taste lalu segera meminta nota pada petugas di lantai satu lalu bergegas kembali ke lantai dua. Aku mengedarkan pandanganku ke ruangan di lantai dua itu mencari-cari Fira. Ku lihat dia sedang berkutat di deretran novel-novel Indonesia. Ku gerakkan kakiku bergantian menghampirinya.

“Tumben lu nyari novel Indo, biasanya nyari buku-buku professor,hehe….”, kataku menggoda Fira yang memang tumben-tumbenan ada di rak novel Indonesia. Dia memang lebih tertarik pada buku psikology, sastra ataupun buku-buku karya orang-orang yang terkenal di dunia. Kalaupun dia membaca novel, dia pasti akan memilih novel barat atau novel-novel terjemahan.

“Ya pengen aja Nes, mumpung lagi sempet baca jadi beli sekalian aja.”

“Eh, lu mau beli semua ini? Yang bener aja?”, kataku setelah menyadari Fira telah membawa tiga buku yang tebaknya masing-masing sekitar 3-5 cm itu.

“Nih buku udah dari dua minggu gue cari-cari. Mumpung ada ya sekalian aja dibeli.” Kata Fira enteng. “Lu sendiri Cuma mau beli itu?”, Tanya Fira yang melihat aku membawa dompet dan VCD.

“Ehm, mau nyari novel juga deh buat hiburan di rumah”, kataku sembari memilih-milih teenlit. Setelah Fira mendapat novel karangan Mira W. dan aku mendapat novel karya Jusra Chandra, kami pun menuju kasir dan beranjak menuju lantai tiga untuk mengisi peut kami yang sedari tadi telah konser untuk minta diisi. Kami berjalan menuju foodcourt yang berada di dekat escalator turun.

“Lu mau makan apa Nes?”

“Kayaknya gue pengen makan seafood deh. Lu?”

“Sama deh.”

Kami segera berjalan menuju stan seafood di foodcourt itu. Aku memandangi menu-menu seafood yang ada di daftar menu. Dan saat itu…..

“Mau pesan ap………….”

“Loh? Bayu kan?”, Fira mengenali pelayan yang baru saja menanyakan pesanan kami. Pelayan itu tersenyum.

“Kalian teman sekelas gue ya?”, Tanya Bayu sedikit ragu.

“Iya. Wah, ternyata lu kerja disini Bay?”, Tanya Fira sedikit exited dan menurutku terkesan lebay. Soalnya dia kelihatan berbinar-binar banget.

“Iya”. Lagi-lagi dia menjawab dengan tersenyum. Manis. “Oya, mau pesen apa?” Tanya Bayu lagi.

“Gue mau udan goreng saus tiram deh sama es jeruk ya.”

“Gue sama deh.”

“Ngikut aja lu!!!”

“Biarin dong!”, kata Fira sambil menjulurkan lidahnya. “Oia Bay, kita tadi dikelas belum sempet kenalan ya. Gue Shafira tapi panggil aja Fira, yang ini sahabat Gue Anes, Anesta Wijaya.”, aku lihat raut muka Bayu berubah mendengar namaku. Tapi mungkin Cuma perasaanku saja. Yang jelas aku heran kenapa Fira terlihat agresif ama cowok ini. Gak kayk biasanya. “Kok Fira jadi aneh gini sih? Jangan-jangan nih anak naksir beneran lagi ma si Bayu?”, batinku menebak-nebak.

“Oya, salam kenal ya. Semuanya Rp. 47.500,-, ini nomor mejanya. Silahkan tunggu.” Katanya mengakhiri percakapan. Maklum masih jam kerja.

“Ayo Fir, tuh ada meja yang kosong.”, ajakku pada Fira yang terlihar sedikit merengut kecewa karena tak bisa berlama-lama ngobrol dengan Bayu mungkin.

Kami duduk tak jauh dari stan seafood tempat kami memesan makanan tadi. Fira tak sedikitpun melepas pandangan dari stan itu.

“Lu kenapa sih Fir?”

“Kenapa apanya?”

“Lu aneh. Naksir Lu ya ama si Bayu?”

“Gak tahu deh, hehe…..”

“Ye…. Di tanya malah cengengesan lagi.”

“Dia ganteng ya?”

“Ya iya lah orang dia cowok, kalo dia cantik bisa takut gue.”, kataku sedikit bercanda. Fira merengut mendengar celotehku.

“Kok tadi dia kayak gak mau di ajak ngomong gitu ya Nes?”

“Fir, dia kan lagi kerja masa’ mau ngladenin lu ngobrol terus, bisa dipeat dia ntar.”

“Bener juga ya?hehe……”

Beberapa saat kemudian Bayu datang membawa pesanan kami. Dia tersenyum dan berkata….

“Dua udang goreng saus tiram dan dua orange juice. Silahkan!!”

“Makasih ya, Bay.” Kata Fira agak genit. Dia menyenggolku dan melirik kearah Bayu.

“Oh ya, makasih ya.” Kataku pada Bayu. Bayu lalu kembali ke stan tempat dia bekerja dan aku segera menyantap udang goreng yang baunya begitu menggoda ini.

“Aduh Nes, dia manis banget.”, ujar Fira terkagum-kagum pada makhluk Tuhan yang baru aja mengantarkan pesanan kami.

“Iya, apalagi orange juice yang dia bawa. Sumpah deh, muannieesss banget,hehehe….”, kataku sambil menyeruput seperempat gelas Orange juiceku.

▪▪▪

Pukul 16.30 WIB

“Fir,pulang yuk. Dah sore nih.” Ajakku.

“Iya deh, yuk. Tapi si Bayu kemana ya? Perasaan tadi masih ada deh.”

“Jadi dari tadi lu tuh merhatiin si Bayu ya?”

“Ho’oh. Hehehe…..”

“Pantes aja makannya lama. Ya udah cepetan. Udah sore banget nih.”, kataku tak sabar.

Kami bejalan menuju pelataran parkir tempat mobilku bernaung. Namun saat melewati jaln menuju toilet dan mushola, kami berpapasan dengan Bayu yang membawa sarung dan peci ditangannya. Dia tersenyum saat melihat kami.

“Mau pulang ya? Gak sekalian sholat disini aja?” tanya Bayu polos.

“Oh…eh….anu….” Fira terlihat bingung menjawab pertanyaan Bayu.

“Kita lagi dapet, Yu. Ya udah kita duluan ya.” Jawabku ngsal dan segala menarik Fira pergi dari hadapan Bayu. Saat sudah hampir sampai di escalator aku kembali menoleh kearah Bayu. Tanpa disangka dia masih mematung di tempat semula dan melihat ke arahku. Aku bisa melihat senyum terkulum di bibirnya yang tipis itu. Dan saat itulah ada desir aneh yang menari dalam perutku. Seperti kupu-kupu kecil yang beterbangan bebas.

Menyadari hal itu aku segera memalingkan wajahku. Fira tampak memandangku aneh.

“Lu kenapa Nes?”

“Kenapa apanya?”tanyaku heran.

“Lu pucet. Sakit?”

“Hah? Enggak kok Fir. Capek mungkin.”

“Ya udah. Habis ini gue aja yang nyetir ampek rumah gue.”

“Terserah lu aja deh Fir.”

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku sendiri merasa aneh. Padahal tidak ada hal istimewa yang terjadi. Hanya senyuman Bayu. Tapi kenapa rasanya aneh begini ya? Apa jangan-jangan…….. “Ah, enggak mungkin banget. Tolol banget sih gue ampek mikir kayak gitu. Bodoh.”, batinku menyela.

▪▪▪

Pukul 17.25 WIB

Aku sampai di rumah yang sepi ini lagi. Rumahku. Aku masuk dengan gontai. Kepalaku mulai pening. Aku hempaskan tubuhku ke sofa ruang keluarga. Aku selonjorkan kakiku melepas lelah. Perlahan tanganku memijit pangkal hidungku demi mendapat sedikit ruang untuk berpikir bebas di antara kepenatan. Tapi setelah mendapat sedikit ketenangan justru wajah Bayu yang muncul dengan senyuman yang penuh kebijakan yang kian menyejukkan. Aku membuka mataku perlahan. “Kenapa gue malah inget dia? Kenal aja juga cuma hari ini. Aneh. Siapa sebenernya lu Bayu?”.



Bi Minah…

Prraaaaaaaaaang………

A

ku tersentak bangun dari tidurku saat mendengar suara keras benda yang pecah itu. Aku melirik jam dinding di kamarku. Pukul 02.30 pagi. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak. “Pasti ada sesuatu yang terjadi.” Pikirku. Aku menyibakkan selimut seputih awanku dan segera bangun dari tempat tidurku menuju arah suara itu. Aku membuka pintu kamarku perlahan hingga suara gesekannya hampir tak terdengar. Aku melongok ke bawah saat kemudian terdengar sayup-sayup suara Ayah dan Bundaku…

“Kamu kenapa marah kalau memang semua itu benar, huh?” teriak Bunda penuh amarah. “Atau jangan-jangan semua itu benar, Mas?”

“Kamu jangan kurang ajar, Widya?”, Ayah tak kalah emosi menghadapi kemarahan bunda.

“Mas, aku hanya bertanya. Tapi sekarang aku rasa aku tak butuh jawaban lagi karena semua reaksi kemarahanmu itu sudah cukup memberiku jawaban.”, bunda mulai berkaca.

“Apa maksudmu?????”

“Mas, akui saja kalau kau benar-benar main gila dengan perempuan jalang itu. Ya kan?”, aku membelalakkan mata mendengar kata-kata bunda. “Ayah selingkuh?? Gak mungkin.”,, tukasku dalam hati.

“Dia perempuan baik-baik. Jangan pernah kau hina dia, karena kau juga tak lebih baik.”

“Oh, jadi sekarang kau sudah membelanya Mas? Dan sekaang masih mu mengelak lagi? Ha?” kemarahan bunda semakin menjadi.

“Widya, jaga sikapmu. Aku ini suamimu!!!” ayah tak kalah marah.

“Baik, ceraikan saja aku!!!!”

“APA? Enggak, Bunda dan Ayah gak boleh cerai.!!!”, teriak hatiku menahan air mata.

“Jaga mulutmu Widya!!!”, ayah terlihat mulai geram.

“Apalagi Mas? Semua sudah jelas kan Mas!”, air mata bunda menetes perlahan. “kamu mulai berubah mas. Dan kemarin saat kita bertemu di restoran itu adalah sebuah jawaban atas semua perubahan sikapmu belakangan ini”.

“Widya, kita sudah punya Anes. Jadi tolong bersikaplah lebih dewasa. Jangan seperti anak kecil.”

“siapa yang seperti anak kecil? Mas, aku justru gak igin Anes semakin stress mendengar kita bertengkar terus. Lebih baik kita akhiri saja semuanya Mas, perasaan kita dh gak seperti dulu kan? Kamu mulai mencintai perempuan itu. Dan aku tidak akan pernah mau untuk di madu. Jadi Cerai adlah jawaban yang lebih tepat.”, bunda benar-benar menangis sekarang.

Tak terasa air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku tak mempercayai apa yang baru saja aku ihat dan aku dengar. Aku melangkahkan kaki kembali masuk ke kamarku dengan langkah yang gontai. Aku benar-benar merasa penat sekarang. Aku merebahkan tubuhku di atas kaur. Memandang langit-lagit kamarku yang berhiaskan bintang-bintang kecil. Saat itulah pintu kamarku diketuk halus.

Tok….tok…..tok…

“Non…..Non Anes….ini Bi Minah Non.”

“Iya Bi, masuk aja. Pintunya gak dikunci kok.” Seruku dari dalam kamar.

Pintu kamarku dibuka pelan dan terdengar bunyi berdecit yang halus. Terlihat wajah tua tua Bi Minah yang mulai berkeut diseitar bulatan matanya. Dia sudah mulai merenta.

“Non, belum tidur?” tanyanya saat duduk di sampingku.

“Tadi sih udah Bi, tapi pas ada suara barang pecah jadi bangun. Takut ada maling.” Kataku sambil sedikit memaksakan senyuman di bibir.

“Non Anes habis nangis ya?”

“Ah, enggak kok Bi, Cuma kelilipan.” Kataku sambil mengusap bekas tangisku.

“Sabar ya Non, Bibi ngerti kok perasaan Non kayak gimana.”

“Ah, bibi ngomong apa sih? Aku baik-baik aja kok.” Kataku masih berusaha ngeles.

“Gak usah bohong Non. Bibi ini orang yang ngasuh Non sejak Non masih 4 tahun. Jadi Non udah kayak anak bibi sendiri.”

Aku luluh mendengar ucapan bi Minah. Kelembutan dan sifat keibuannya melunturkan semua gengsiku atas beban berat yang ku pikul selama ini.

“Kok jadi gini ya Bi? Bunda sama Ayah meskipun gak selalu bareng kan gak pernah bertengkar kayak gitu. Selama ini hubungan mereka baik-baik aja.” Keluhku pada Bi Minah. Saat ini dialah satu-satunya orang yang bisa aku ajak berbagi rasa.

“Ini wajar Non. Dalam rumah tangga kan gak selalu mulus jalannya. Suatu saat Non juga bakal ngerti kalo non sudah jadi istri atau bahkan ibu.

“Tapi…… Aku gak pernah ngebayangin kehidupanku bakalna kayak apa kalo sampai Ayah sama Bunda cerai beneran bi. Mereka gak cerai aja udah kayak gak punya anak. Sukanya kelayapan mulu. Lha kalo mereka cerai beneran jangan-jangan malah gak inget kalo punya anak.” Keluhku manja.

“Gak ada orang tua yang bakalan lupa ma anaknya Non. Lagian Non kan masih punya bi Minah sama mang Asep Non.” Kata bi Minah penuh perhatian.

“Iya ya bi. Aku kan punya Bibi ma Mang Asep yang udah kayak orang tua angkatku.” Kataku sambil mengulas senyuman.

“Iya. Ya sudah, sekarang Non tidur lagi. Kan nanti mesti kuliah. Mau dibangunin jam berapa Non?”

“Aku kuliah jam 09.00, dibangunin jam 06.00 aja bi biar gak keburu-buru ntar.”

“Iya. Sekarang Non istirahat dulu. Bibi juga mau sholat dulu. Permisi ya Non.” Bi minah beranjak keluar kamarku. Aku tertegun mendengar ucapan bi Minah barusan. “Sholat?, kayaknya aku jauh banget dari kata itu.” Hatiku membatin. Bi Minah memang orang yang gak pernah ninggalin kewajiban itu meskipun dia ikut dalam keluarga yang gak pernah mengenal kata ibadah.

Bi Minah memang sudah ikut dalam keluarga ini sejak kami tinggal di Malang. Jadi sudah sekitar 15 tahun di setia besama keluarga ini. Dia juga yang lebih dekat denganku ketimbang Bundaku sendiri. Sebab dia yang selalu merawatku. Dia lah yang selama ini menjadi ibu pengasuhku. Sifatnya yang keibuan juga mampu menenangkanku saat aku merasa kesepian dan sedih jika ada masalah yang menerpaku. Dialah orang yang paling setia menghiburku saat aku menangis. Usianya memang sudah hampir kepala lima, tapi dia masih mampu memahami sifatku yang ke kanak-kanakan dan kadang mudah emosi. Secara sadar atau tidak dialah ibuku selama ini. Melebihi Bunda Widya yang telah melahirkanku. Bahkan Bunda mungkin tak akan bisa semengerti Bi Minah ketika memahmi segala sifat, sikp dan permasalahanku. Hah, Bi Minah…. Bi Minah….. “Jangan pernah pergi jauh dari Anes Bi. Jangan pernah ninggalin Anes sendiri seperti orang tua Anes yang gak pernah peduli sama Anes”, batinku pilu.



Bunda dan Ayah…

A

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline