Lihat ke Halaman Asli

Nanang A.H

Pewarta

Kembalinya Wacana Pilkada ke DPRD: Solusi Tepat atau Ancaman bagi Demokrasi?

Diperbarui: 18 Desember 2024   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana pengembalian mekanisme pilkada ke DPRD membawa pro & kontra signifikan (Foto: Kompas)

Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (pilkada) dari sistem pemilihan langsung ke mekanisme di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi sorotan. Sistem pilkada langsung yang dimulai sejak 2005 dianggap sebagai salah satu tonggak penting demokrasi di Indonesia. 

Namun, wacana ini menimbulkan perdebatan panas, dengan pihak pendukung mengklaim bahwa langkah tersebut akan lebih efisien, sementara para penentang melihatnya sebagai ancaman terhadap keterlibatan rakyat dalam politik.

Alasan Wacana Pengembalian Pilkada ke DPRD

Pendukung pengembalian pilkada ke DPRD mengemukakan beberapa alasan utama:

1. Efisiensi Anggaran

Biaya pilkada langsung dinilai terlalu tinggi. Penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah memakan anggaran besar yang sering kali membebani keuangan negara maupun daerah. Dengan menyerahkan proses pemilihan kepada DPRD, biaya dapat ditekan secara signifikan.

2. Pengurangan Politik Uang

Pilkada langsung kerap diwarnai praktik politik uang yang melibatkan kandidat dan masyarakat. Pengembalian ke DPRD diyakini dapat meminimalisasi praktik ini karena proses pemilihan hanya melibatkan segelintir pihak.

3. Stabilitas Politik

Pilkada langsung sering kali memicu konflik sosial, seperti kerusuhan atau perselisihan antarpendukung calon. Dengan sistem pemilihan di DPRD, diharapkan ketegangan politik dapat diminimalkan.

Kritik terhadap Wacana Ini
Meski demikian, banyak pihak menilai langkah ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi. Berikut beberapa alasan utama:

1. Pengabaian Hak Suara Rakyat

Pilkada langsung memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Jika proses ini dikembalikan ke DPRD, rakyat kehilangan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting di tingkat lokal.

2. Risiko Korupsi

Sistem pemilihan di DPRD dinilai rawan terhadap praktik lobi dan transaksi politik. Para calon kepala daerah mungkin fokus membangun kedekatan dengan anggota DPRD daripada memperjuangkan visi misi yang berpihak pada rakyat.

3. Mengurangi Akuntabilitas

Pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat merasa memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap konstituen. Sebaliknya, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik kelompok tertentu.

Dilema Demokrasi vs. Efisiensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline