Marsha, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, baru saja menyelesaikan belanja online besar-besaran. Di keranjang belanjanya terdapat berbagai produk kecantikan, pakaian, dan aksesori yang sebenarnya tidak begitu ia butuhkan.
Namun, dengan diskon besar dan iklan yang terus-menerus membombardirnya di media sosial, Marsha merasa tak kuasa menahan godaan. Begitu selesai berbelanja, ada perasaan menyesal yang mendalam—dompetnya menipis, tetapi keinginannya untuk terus membeli belum juga hilang. Fenomena ini dikenal sebagai doom spending
Doom spending adalah istilah yang mengacu pada kebiasaan berbelanja secara impulsif untuk mengatasi kecemasan, stres, atau perasaan tidak nyaman. Fenomena ini semakin marak di kalangan Generasi Z, terutama sejak masa pandemi, ketika banyak anak muda menghabiskan lebih banyak waktu di rumah dan di depan layar.
Namun, di balik maraknya doom spending ini, ada faktor lain yang sering kali terlewatkan: pola asuh orang tua dalam membentuk kebiasaan konsumsi anak-anak mereka. Bagaimana pola pengasuhan berperan dalam kecenderungan doom spending, dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya? Mari kita simak lebih dalam.
Doom Spending dan Pola Asuh: Apa Hubungannya?
Banyak orang tua mungkin tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik dan memperkenalkan nilai-nilai keuangan kepada anak-anak sejak dini sangat berpengaruh pada pola konsumsi di kemudian hari. Beberapa pola asuh yang sering kali menjadi akar masalah dalam perilaku konsumtif Gen Z meliputi:
1. Memberikan Segala yang Diminta Anak
Orang tua yang selalu memenuhi semua permintaan anak, baik yang perlu maupun tidak, tanpa mengajarkan nilai dari uang dan kerja keras, bisa membentuk kebiasaan belanja impulsif.
Anak-anak yang terbiasa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan sejak kecil, akan tumbuh dengan anggapan bahwa segala sesuatu dapat dibeli dengan mudah, tanpa perlu mempertimbangkan kebutuhan atau prioritas.
2. Kurangnya Pendidikan Finansial