Di sudut pasar,
sebuah spanduk tersenyum lebar,
wajah yang tak pernah kutemui di sini,
berjanji menata jalan,
merapikan trotoar,
mengeringkan genangan di hatiku yang tenggelam.
Tapi, celanaku tetap kusut,
seperti janji yang terlipat-lipat.
Mereka bicara dengan megafon,
mencoba masuk ke telingaku yang setengah tuli,
sementara aku sibuk mengencangkan sabuk,
takut celana ini copot saat kampanye.
Di pojok jalan,
bapak tua duduk merapikan sandal jepitnya,
tak peduli siapa yang menang,
sebab esok tetap sama:
piring di rumahnya hanya tahu lapar,
dan politik tak pernah punya waktu untuk bertanya.
Di langit,
spanduk makin banyak terbang,
seperti celana dalam yang terjepit di tali jemuran,
menunggu angin menjatuhkannya,
ke tanah yang juga lelah menampung segala harapan.
Celana yang ku pakai hari ini,
mungkin akan terus kupakai,
sampai aku tahu,
siapa yang menang
dan siapa yang sekadar lewat
di trotoar ini,
bersama janji yang sudah lama kusut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H