Politik identitas merupakan isu yang harus diwaspadai jelang kontestasi politik 2024.
Mengingat pengalaman kelam dalam pilkada DKI 2017 masih terbayang dan berdampak besar pada tatanan keberagaman kebangsaan yang menimbulkan polarisasi ditengah masyarakat sampai saat ini
Bahkan anggota Bawaslu Lolly Suhenty, seperti dikutif dari laman Bawaslu, memprediksi bahwa politik identitas akan digunakan kembali oleh oknum politisi pada pemilu 2024.
Selanjutnya dia mengatakan bahwa politik identitas atau politik SARA ini menjadi isu yang sangat mudah digunakan, mudah untuk digerakan, murah biayanya, dan cepat responnya
Politik identitas sendiri dapat diartikan sebagai cara berpolitik yang mengutamakan kepentingan kelompoknya yang didasari oleh kesamaan identitas, seperti agama, gender, budaya, dan lainnya
Gelagat pemanfaatan isu politik identitas atau SARA dengan memanfaatkan gerakan isu intoleransi terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) ini sudah mulai terasa di beberapa daerah dan mulai massif.
Kordinator Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), Angelique Maria Cuaca, seperti dikutip Gentra Priangan, mencatat kasus intoleransi dalam setahun ini menunjukan masif terjadi di beberapa daerah. Hal tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan dan perlu diwaspadai, karena agama kerap dipolitisasi
Beberapa kasus KBB yang terjadi adalah diantaranya: Adanya pelarangan pembangunan madrasah yang dikelola oleh Ahmadiyah di Sukabumi, pembubaran ibadah yang dialami oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) di Bogor, dan pelarangan beribadah Gereja Protestan Injil Nusantara (GPIN) Filadelfia di Bandar Lampung
Tentunya dampak dari politisasi agama yang pernah terjadi 2017 di pilkada DKI yang masih berdampak hingga saat ini, dan tentunya tidak ingin terulang di pemilu 2024.
Untuk itu diperlukan upaya upaya bersama sebagai bentuk pencegahan. Berikut ini upaya yang perlu dilakukan oleh kita bersama diantaranya: