Lihat ke Halaman Asli

Pandhu nagara

Freelance copywriter

Fakta Ironis Lomba Panjat Pinang

Diperbarui: 15 Agustus 2023   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sketsa lomba panjat pinang, penulis 2023

17 Agustus, hari lahirnya bangsa Indonesia, heri berdirinya hari merdekanya negara kita tercinta. Banyak hal yang kita rayakan saat bulan kemerdekaan Indonesia. Tak lain dan tak bukan ialah berbagai lomba yang kita selenggarakan baik di lingkungan rumah, kantor, dan sekolah. Namun, apakah kita semua tahu bahwa lomba-lomba hari kemerdekaan kita memiliki ironi yang tragis dari sejarah kelamnya kolonialisme di Indonesia? Mari kita ulas.

Kita semua tak asing dengan lomba panjat pinang, lomba membawa kelereng, lomba makan kerupuk dengan tangan terikat? Kita semua tak asing dengan lomba tersebut. Khususnya lomba panjat pinang. Sebatang kayu ataupun bambu dilumuri oleh minyak dan oli sehingga licin, diatas lumpur, dan pada ujung bagian atas tiang digantungi oleh beragam hadiah. Makna dari lomba tersebut ialah gotong royong, namun sejarah mengungkapkan bahwa lomba panjat pinang memiliki kisah tragis dibaliknya.

Pada masa kolonial, orang-orang Belanda tidak ingin terjamah oleh bangsa pribumi sehingga timbul "eksklusifitas" di lingkungan tersebut. Orang Belanda menganggap pribumi layaknya hewan yang dipertontonkan dan sebagai hiburan, dimulai dari hiburan seni tarian hingga hiburan dewasa bagi orang Belanda. Termasuk juga dengan pertunjukan panjat pinang. Pada masa kolonial sendiri, orang Belanda menikmati pertunjukan kelompok-kelompok orang pribumi yang berlomba untuk mendapatkan hadiah yang terdapat pada puncak pohon pinang. Tak lain dan tak bukan, pada masa lalu hadiah yang diberikan berupa bahan makanan dan uang. Mereka semua tergiur dan semangat untuk berlomba untuk menyambung hidupnya. Sementara, orang-orang Belanda sendiri asik menonton dan menertawakan mereka. Punchline nya sendiri ialah saat seorang yang berusaha untuk memanjat pohon tersebut terpeleset dan jatuh ke dalam lumpur yang berada di bawah. Pada akhirnya pun hal tersebut menjadi tontonan mewah dan mengasyikan bagi orang Belanda. Adapun, saat lomba panjat pinang sendiri merupakan ajang judi dan taruhan bagi kaum Belanda. Mereka bertaruh kelompok mana yang pertama kali menang dan mendapatkan hadiah dari lomba tersebut.

Sungguh ironis bukan? Para nenek kakek kita dipertontonkan dan digunakan sebagai alat hiburan bagi orang Belanda. Mereka semua tergiur dan berjuang untuk mendapatkan hadiah kehidupan, disaat mereka gagal mereka mendapat bahan tertawa dan olok-olokan bahkan tak jarang mendapat cacian yang keji. Namun, lomba tersebut kini diungkapkan sebagai lambang gotong royong yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Filosofi lomba panjat pinang dimaknai sebagai kebebasan saat merdeka dan terus berjuang walaupun jalan yang dilewati sulit dan mempertaruhkan kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline