"Intelligence plus character - that is goal of true education"
(Marthin Luther King)
Ketika saya menjadi HRD, ada seorang calon karyawan melamar. Isi surat lamarannya sungguh menjanjikan. Lulusan terbaik dari universitas ternama di Kota Pahlawan. Prestasi akademiknya merupakan modal awal yang bagus. Di sisi lain, tidak ada informasi tentang aktivitasnya selain perkuliahan. Bagi saya, kepandaian akademik tanpa adanya kegiatan bersosialisasi yang cukup, maka orang yang bersangkutan bukanlah kandidat karyawan yang dibutuhkan. Saat saya memanggilnya untuk wawancara, dia (perempuan) datang dengan penampilan 'heboh'. Riasan wajahnya mencolok. Bajunya tidak berlengan. Roknya pendek sekali. Padahal posisi yang dia lamar tidak membutuhkan penampilan semacam itu. Sikapnya dalam wawancara tidak bisa dikatakan santun. Kebetulan pemilik perusahaan (laki-laki, masih muda) lewat dan melihat ada dia di ruangan saya. Langsung boss memanggil saya dan berkata, "Aku cari staf untuk kerja, bukan cari teman tidur!" Gloodaaakkk... Saya paham sekali dengan apa yang boss maksudkan. Saya pun sendiri sudah tidak memilih dia. Ya, akhirnya dia tidak kami terima.
Kecerdasan yang berkembang optimal tanpa diiringi pertumbuhan karakter adalah sia-sia. Sering kali orang lupa bahwa tidak cukup mengembangkan potensi intelektual saja, karakter pun harus mendapatkan porsi yang sama. Mana yang lebih dahulu, pengembangan kepandaian atau pendidikan karakter? Jawabannya adalah: karakter didahulukan. Saat yang tepat untuk memulai membentuk karakter adalah ketika siswa mulai masuk sekolah. Dan dilakukan sepanjang siswa menjalani pendidikan di institusi tersebut sehingga hasil akhir (outcome) berupa lulusan yang mumpuni dalam bidang ilmunya dan baik karakternya.
Masa awal masuk sekolah, mulai jenjang SMP hingga perguruan tinggi, ditandai dengan kegiatan pengenalan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan lingkungan belajar pada siswa dan juga membantu siswa lebih memahami dirinya. Namun yang terjadi banyak kegiatan pengenalan ini berubah arah menjadi ajang pembantaian, balas dendam, penghinaan dan sebagainya. MOS dan Ospek menjadi momok yang menakutkan dan tidak bermanfaat. Sudah banyak artikel yang membahas hal ini.
Pada tahun 1998, saya bergabung dalam tim Fakultas Psikologi sebuah PTS di Kota Pahlawan. Tugas utama saya sebagai Pembantu Dekan III (Kemahasiswaan) adalah menyelenggarakan Ospek. Menengok pengalaman pribadi ketika saya mahasiswa dulu, saya ingin melakukan yang berbeda. Apalagi saat itu saya sedang gemar membaca buku-buku kepemimpinan, character building, pengembangan diri, dan sebagainya. Karena Fakultas kami baru berdiri tahun itu juga, maka sistem orientasi mahasiswa belum ada. Mahasiswa kami adalah angkatan pertama. Faktor-faktor itu mendorong saya membuat rencana kegiatan yang berbeda dan berlandaskan pada pertumbuhan pribadi mahasiswa.
Masa Ospek yang menyeramkan karena penuh atribut memalukan serta bentakan dari senior, kami ubah menjadi masa yang lebih humanis. Kegiatan ini saya namanya Masa Penyadaran Diri (SADARI). Dilaksanakan selama 3 hari. Dalam SADARI, prinsip yang digunakan bersifat meluas. Dimulai dari pengenalan diri, lingkungan terdekat, lalu masyarakat.
- Diri Sendiri. Pada sesi ini mahasiswa diajak untuk mengenal dirinya, menyakini pilihan berkuliahnya, dan membuat tujuan berkuliah. Kata-kata penyemangat yang saya sukai karena selalu berhasil membangkitkan motivasi mereka adalah, "Sekarang kalian sudah ada di Fakultas ini, sudah memilih jurusan Psikologi, tidak ada jalan kembali. Harus maju terus. Bakar jembatan di belakangmu! Itu akan membuatmu berpikir ke depan, bukan menyesali masa lalu." Kalau sudah bicara begitu, saya berasa mirip orator demo... hehe.. Mahasiswa perlu memahami sejak awal pilihannya dan mengetahui ke mana dia akan membawa dirinya.
- "Keluarga Baru". Setelah itu mahasiswa perlu mengenal lingkungan sosial terdekat. Tidak ada orang yang tidak membutuhkan orang lain. Kami menanamkan kebersamaan dalam meraih keberhasilan. Penekanan bahwa akan jauh lebih menyenangkan ketika berhasil bersama-sama teman diinternalisasi dalam tiap aktivitas. Ungkapan favorit saya pada sesi ini, "Apa gunanya kamu mengibarkan bendera di puncak gunung tertinggi sendirian? Perasaan berhasil meraih sesuatu justru ketika kamu bisa merayakannya bersama teman-temanmu."
- Sarana dan Prasarana. Berikutnya mahasiswa wajib mengenal dengan baik semua fasilitas yang ada di fakultas. Wajib menggunakannya untuk meraih tujuan yang sudah ia buat. Paradigma yang dikembangkan adalah semua fasilitas itu adalah sarana, bukan tujuan berkuliah.
- Manfaat bagi masyarakat lebih luas. Pada tahap ini mahasiswa diajak untuk mengenal masyarakat di luar lingkungan kampusnya. Mereka berkenalan dengan tukang becak, penjual makanan, penyapu jalan, penjaga warung, siapa saja yang bisa mereka temui; bertanya kisah hidupnya dan harus bisa mengambil nilai kehidupan dari orang-orang yang ditemui. Nilai-nilai itu diasah lagi dalam kegiatan mereka, lalu diaplikasikan dalam bentuk kegiatan sederhana. Ungkapan favoritnya pada tahap ini, "Percuma semua ilmu yang kamu miliki kalau tidak bermanfaat untuk orang lain."
Keseluruhan tahapan itu dikemas dengan pendekatan experiential learning. Belajar dengan mengalami. Mahasiswa menjadi subjek pembelajaran. Mereka dianggap orang yang paling tahu tentang dirinya, jadi metode yang digunakan bermula dari apa yang mereka miliki. Peran fasilitator hanya sebagai "bidan" yang bertugas mengeluarkan "janin" (metode pendekatan Socrates dalam menggali ilmu pengetahuan). Karena sebetulnya para mahasiswa itu sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berharga, namun mereka belum mampu untuk mengarahkannya. Tugas pendidiklah untuk mengoptimalkan hal itu.
Konsekuensi dari pendekatan experiential learning adalah memanusiakan manusia. Selama kegiatan SADARI, mahasiswa tidak mengenakan atribut yang tidak ada manfaatnya, tidak berdandan yang menurunkan harkat dan martabatnya, dan tidak diberi tugas tanpa makna. Pakaian wajib adalah kaos dan celana sport. Kami ingin mereka bergerak, mencari, mengeksplorasi. Nama dada digunakan untuk saling mengenal dan menghafalkan, bukan untuk digunakan sebagai label diri yang merusak. Tidak ada nama dada bertuliskan julukan-julukan. Hanya nama mereka.
Masa Penyadaran Diri tidak berhenti hanya selama 3 hari saja, tetapi dilanjutkan sepanjang mereka berkuliah. Program pembentukan karakter berikutnya adalah Support Class. Character building tidak bisa dibangun dalam sehari, memerlukan program bersinambungan. Hasil bentukan dalam SADARI dikentalkan dalam program Support Class (SC). SC ini dibagi menjadi 4 tahapan: Penyadaran, Pemantapan, Penggalian dan Penerapan.
Hingga kini, tahun 2015, program SADARI dan Support Class tetap dipergunakan di Fakultas Psikologi tersebut. Tentunya perubahan dilakukan pada cara dan isi materi, namun konsep dan falsafahnya tetap sama. Apakah dengan demikian semua lulusan menjadi orang-orang berilmu dan berkarakter? Dalam hal ini berlaku probabilitas. Selalu akan ada "beras" yang jatuh dari "ayakan". Tapi kondisi akan lebih parah bila tidak ada "ayakan" yang memadai.
Belajar dari pengalaman tersebut, sebaiknya program MOS dipikirkan lebih mendalam. Bukan hanya berhenti pada MOS, tetapi juga sepanjang siswa bersekolah. Hal penting lainnya adalah cara berpikir tentang keberadaan program itu sendiri. Paradigma yang benar akan menuntun pada penentuan aktivitas yang tepat. Sehingga kualitas diri siswa, baik akademik maupun non akademik, mengalami peningkatan. Harus kelihatan benar perubahan dalam diri siswa setelah dia lulus dari sekolahnya.