Lihat ke Halaman Asli

Naftalia Kusumawardhani

TERVERIFIKASI

Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Karena Saya Tahu, Mereka Sedang Bekerja

Diperbarui: 8 Juli 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekalipun sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, saya masih menyempatkan diri untuk membaca berita terkini. Mulai dari permintaan DPR tentang dana aspirasi, penyidikan kasus Engeline, kinerja Pemerintah, isu ungkapan menteri yang merendahkan Presiden, kasus penyiksaan anak, legalisasi pernikahan sejenis di AS, hingga hasil referendum di Yunani.. Wuihh... meriahnya hidup ini!

Sebenarnya yang menarik itu bukan beritanya sendiri, tapi komentar para komentator. Mendadak banyak orang jadi ahli dalam-bukan-bidangnya. Komentar bernada negatif paling banyak saya temukan. Mulai dari menghina-hina (padahal makin menghina, justru makin menunjukkan karakteristik si penghina), mengejek, menggugat hingga menantang orang lain. Nah, saya tertarik dengan jenis yang terakhir. Salah satu komentar tentang kinerja Pemerintah berbunyi : "Mana ini pendukung Jokowi? Kok nggak muncul? Malu yee? Nyesel?"

Komentar makin aneh ketika ada seorang wanita-yang-merasa-cukup-terkenal menyalahkan pak Jokowi atas kematian seorang anak perempuan kecil di Bali. Dueengg.. Saya langsung gliyeng.. Gagal paham. Saya berusaha memahami pendapatnya dari sudut pandang ilmu apapun, mulai ilmu bumi hingga ilmu perbatuan, tetap tidak saya temukan. Akhirnya saya temukan jawabannya pada ilmu perngawuran bab pendahuluan. Ketika ada pesawat hercules jatuh pun, ada komentar yang menyalahkan pak Jokowi. Hadeeeh... Tapi sejauh ini saya belum menemukan komentar yang mengaitkan aktivitas Gunung Raung dengan tidak segeranya pak Jokowi merombak kabinetnya. Hmmm.. saya membayangkan komentarnya akan berbunyi : "Pak Jokowi, segera rombak kabinet. Ditunggu oleh rakyat. Lihatlah, alam pun menagih janji Anda. Gunung Raung sudah meraung-raung menanyakan kapan Anda segera mengganti para menteri". Keren kayaknya...

Saya teringat ketika masa pilpres lalu, saya mendukung pak Jokowi. Bahkan saya mengangkat diri saya sendiri menjadi "jurkam ndadakan". Kampanye santun, elegan dan bermartabat. Itu yang berusaha saya lakukan melalui jalur media sosial yang saya miliki, termasuk tulisan di Kompasiana. Antusiasme yang berbaur dengan harapan akan masa depan Indonesia lebih baik terasa menggelora saat itu. Banyak para golput turut bersuara dalam pesta rakyat waktu itu. Mengesankan, bagi saya pribadi.

Setelah itu banyak orang mulai kecewa terhadap kinerja dan sikap pak Jokowi. Ada saja kesalahan dan "kesalahan" yang diungkap. Orang-orang berlomba-lomba untuk memberikan celaan dan cemoohan paling top (Fenomena ini saya tulis sedikit di tulisan saya berjudul Keliru Berbangga). Counter action pun dilakukan oleh para pendukung pak Jokowi dengan mem-posting prestasi Pemerintah. Tapi yaaa..namanya benci, ya begitulah. Menutup mata, eh salah, menutup hati. Kalau menutup mata khan tidak bisa menulis komentar ya?

Hingga kini, saya tidak pernah ikutan memposting berita kinerja Pemerintah atau ikutan mencemooh. Bukan berarti saya orang baik (ehm!), bukan itu. Saya memilih menjadi pengamat, pembaca aktif. Karena menyadari bahwa komentar saya tidak akan mengubah apapun. Kalau dulu, suara saya memang dibutuhkan untuk pemilu. Tapi saat ini bukan seperti itu kondisinya. Pemerintah mempunyai tanggungjawab dan wewenang sendiri. Sedangkan kita (rakyat) punya tanggungjawab sendiri. Akan tiba saatnya nanti ketika suara rakyat dibutuhkan, nah waktu itulah kita bisa turun lagi. Seperti yang dikatakan oleh pak Jokowi dalam pidato pelantikannya, "Nelayan kembali melaut, siswa kembali ke sekolah, pekerja kembali bekerja, dst".

Kinerja yang naik turun, berubah-ubah, dikatakan tidak berpihak pada rakyat dan sebagainya, tersebut apakah memang layak untuk didiamkan? Kalau memang kita punya kemampuan dan akses memperbaiki keadaan, ya lakukan. Tapi kalau tidak, maka jauh lebih baik kita optimal dalam setiap peran dan pekerjaan kita. Karena optimalisasi dalam tiap peran itulah merupakan kewajiban utama tiap individu. Selain itu, optimal dalam tiap peran akan menentukan kebermaknaan hidup pribadi. Dan hal tersebut tidak akan tergantikan oleh apapun.

Peran sebagai orangtua, misalnya. Lebih baik kita mati-matian menghabiskan waktu untuk belajar menjadi orangtua agar anak-anak kita kelak bisa menjadi pemimpin berkarakter, individu yang utuh dan unggul serta taat pada perintah Tuhan. Peran sebagai anggota masyarakat. Ayo berjuang keras untuk meluangkan waktu sedikit saja untuk menoleh ke kanan kiri. Siapa tahu yang membutuhkan bantuan kita. Selama masih ada kekerasan pada anak di sekitar kita, artinya tingkat kepedulian sosial warga belum maksimal. Masih banyak lagi peran kita yang bisa kita maksimalkan.

Sikap saya yang tidak ikutan komentar tentang kinerja Pemerintah juga karena saya percaya. Saya percaya mereka akan melakukan yang terbaik. Bahwa sekarang mereka terseok-seok mengatasi berbagai permasalahan (dan bisa jadi saya kena imbasnya), ya itu saya akui. Saya percaya bahwa pak Jokowi dan segenap jajarannya berusaha optimal dalam menjalankan roda perekonomian, sosial, politik, pertahanan dan sebagainya. Saya percaya mereka masih memiliki niat baik untuk membawa perubahan bagi negeri ini. Namun memang tantangannya luar biasa besar. Mengapa saya sangat percaya?

Karena saya tahu, mereka sedang bekerja...

 

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline