"Sorry ya, aku lagi Me Time. Besok aja aku telpon balik", sekilas pembicaraan yang saya dengar. Bukan nguping lho ya, tapi kalau ngomongnya banter, di toilet mall.. Ya pasti terdengar seantero bilik pipis itu..
Lalu saya amati si ibu muda itu bawa belanjaannya banyak banget. Kantong-kantong kertas bermerk dijajar di atas wastafel. Ada pula minuman di sana. Buru-buru tas dan belanjaan saya, saya singkirkan. Lha khan kuatir toh.. Kalau nanti dia minum minumannya sendiri itu, trus klepek-klepek..pleekk... Ntar saya dicurigai naruh apalah di sana, gara-gara saya naruh tas saya nutupi gelasnya #efeksianida
Eh balik lagi ke topik Me Time.
Zaman sekarang Me Time itu diartikan pergi jalan-jalan, belanja belanji, talking-talking with old friends, atau ke salon berjam-jam (meni, pedi, creambath, spa, semir, tato alis). Ada lagi ya?
Me Time menjadi kebutuhan yang harus ada. Kalau nggak ada, orang lalu teriak, "Gue bisa matiiii...". Me Time adalah momen yang ditunggu-tunggu. Setelah itu, seolah-olah dapat energi baru untuk nyemplung lagi dalam rutinitas berbau bawang putih.
Sebetulnya esensi Me Time adalah bertemu sejenak dengan diri sendiri. Manusia punya kebutuhan untuk masuk dalam dirinya. Berdialog batin dengan jati dirinya. Menimbang semua rasa yang telah terungkap. Menyibak pikiran-pikiran terdalam dan meluruskannya kembali. Mengijinkan diri sejenak "terbang" melewati aneka persoalan kehidupan sehingga memiliki perspektif berbeda. Memberikan waktu bagi tubuh untuk menyatu dengan pikiran dan perasaan.
Lha kalo Me Time nya berupa jalan-jalan, belanja, ngobrol sana sini dengan teman lama, kapan ketemu dengan diri sendiri?
Biasanya orang mengartikan Me Time (disingkat MT aja ya... Eh tapi nanti keliru dengan Motivator Terkenal...) dengan lepas sebentar dari rutinitas. Ya memang benar, kita butuh sesuatu di luar rutinitas. Dengan pengertian di atas, proses Me Time memang bermaksud mengeluarkan kita dari rutinitas.
Pada dasarnya manusia membutuhkan keseimbangan (homeostatis) dalam hidupnya. Siklus kehidupan yang monoton dan rutin akan menimbulkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan antara energi yang dikeluarkan untuk hal-hal di luar diri dan untuk diri sendiri akan mengakibatkan kejenuhan. Nggak percaya kalau manusia butuh keseimbangan? Contoh kecil aja : Kalau suhu ruangan terlalu panas, kita akan nyalakan AC untuk mendinginkan. Kalau uang belanja dari suami kurang, akan berusaha untuk ... ? Pasrah? Kayaknya nggak deh. Kalau istri cuman satu, supaya seimbang...? Ada yang mau njawab?! *nyiapin uleg2*
Di sisi lain, manusia dituntut untuk selalu mengembangkan dirinya. Bukan saya lho yang bilang, tapi ilmu psikologi dan agama. Apa ada agama yang bilang, "Nggak usah belajar... Udah puas-puasin aja ama sifatmu sejak bayi". Bahkan di ilmu psikologi pun, dituntut untuk belajar terus menerus. Buktinya ada tahapan perkembangan. Umur sekian harus bisa begini, umur sekian harus bisa begitu.. Nah karena ada tuntutan untuk berkembang, rutinitas membuat individu terperangkap dan tidak optimal potensinya (kalau ada yang suka pake istilah talenta ya boleh juga).
Rutinitas mematikan kreativitas, daya juang, dan sel-sel kelabu di kepala (kata Poirot dalam Agatha Christie). Itulah sebabnya manusia perlu bertemu dirinya untuk "ngecharge" energi psikis lagi. Bukan hanya fisiknya aja yang dikeluarkan dari rutinitas.