Lihat ke Halaman Asli

Naftalia Kusumawardhani

TERVERIFIKASI

Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Teguh dalam Prinsip, Luwes dalam Tindakan

Diperbarui: 5 September 2016   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : http://kabarimbo.com/

Beberapa kali bertemu kasus yang akar masalahnya sama. Klien dewasa mengeluh bahwa mereka tidak tahan menghadapi situasi pekerjaan yang cepat berubah, kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, peragu, dan merasa tidak mampu berfungsi baik. 

Para klien rata-rata memiliki paradigma bahwa hidup ini harusnya begini dan begitu, tidak ada nilai tawar, semuanya harus teratur, terencana, terjadwal, dan tidak ada variasi di antaranya. Maka tidak heran bila mereka stress bila situasi tidak terkendali, berubah cepat dan terlalu banyak dinamikanya. Mengapa mereka bisa berpikir demikian? 

Penelusuran lebih lanjut terhadap masa kecilnya menghasilkan data:

Sejak kecil anak-anak tersebut tidak dilatih untuk menghadapi masalah. Orangtuanya menyingkirkan semua hal yang dianggap negatif. Halangan dibersihkan sedemikian rupa, sehingga orangtua lega. Contoh: anak tidak boleh main keluar rumah, tidak boleh bergaul dengan tipe orang tertentu, semua dipilihkan orangtua, dsb. Mungkin mirip orang yang niat puasa, tapi minta keluarganya mengosongkan kulkas, nggak boleh ada makanan di atas meja, dan nggak boleh ada yang makan di dekatnya. Lha trus puasanya di mana?

Anak tidak pernah belajar berpikir alternatif karena semua hal disediakan orangtua. Persoalan-persoalan hidup pun diselesaikan orangtua. Bagaimana anak bisa belajar untuk mencari solusi atas permasalahannya?

Anak dibesarkan dalam kondisi selalu hitam atau putih. Tidak ada warna lain di sana. Kalau beda, dihukum. Nggak peduli alasannya apa. Sebenarnya hal ini lebih pada memuaskan rasa aman orangtua, bukan merupakan kebutuhan anak.

Orangtua lupa menetapkan mana yang tujuan dan mana yang cara untuk mencapai tujuan. Kemampuan untuk bersikap fleksibel atau beradaptasi bukan merupakan kemampuan yang tiba-tiba mengada. Harus dilatih. Fleksibilitas dalam menyelami gelombang kehidupan sangat diperlukan, namun mereka harus tetap fokus pada tujuan. 

Anak perlu belajar mana yang tujuan dan teguh memegangnya. Namun untuk mencapainya, diperlukan keluwesan dalam mengambil alternatif. Ada banyak cara untuk melatihnya :

Membiarkan anak menentukan pilihannya sendiri sejak dini. Bukan dalam segala hal lho. Hal-hal tertentu dan disesuaikan dengan usia. Hendak memakai baju apa, biarlah mereka menentukan. Tugas orangtua menetapkan batasan dan mengingatkan. Misalnya : Kita mau ke Gereja. Pakaian sopan, tidak buka-bukaan, dan pakai sepatu. Udah. Itu aja. Biar anak memilih baju dalam batasan kriteria itu. Contoh lain : Memilih pacar. Tetapkan kriteria yang disertai landasan jelas. Misalnya harus seiman dan dijelaskan mengapa harus seiman. Alasan ini akan menjadi pengingat bagi anak ketika nanti dia memilih pacar. 

Mendampingi mereka ketika mereka bergaul dengan berbagai macam orang. Orangtua ikut mengawasi (sesuai dengan tahapan usia anak) lalu memberikan masukan. Bukan orangtua yang menentukan mana yang boleh dijadikan teman dan menyingkirkan 'para teman bermasa depan suram' dari kehidupan anak. Biar mereka sendiri yang menjauh dari kelompoknya. 

Yang paling penting. Ini harusnya pertama sih.. hehe... Komunikasikan tujuan utama yang harus dia raih. Sesuai dengan kemampuan dan potensinya. Tujuan hidupnya perlu dia ketahui dan diskusikan hal itu. Nah, tiap kali mereka mengalami persoalan kehidupan, orangtua bisa membantu mengingatkan tujuan tersebut. Misalnya : "Kamu khan pengen kuliah di LN, apa temen-temenmu yang seneng bolos itu bisa bantu kamu mencapai tujuanmu?" 

Itu aja sih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline