Lihat ke Halaman Asli

Naftalia Kusumawardhani

TERVERIFIKASI

Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

[SuDuk] Kampung Kompasiana

Diperbarui: 21 Januari 2016   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Konon katanya tinggal di kampung itu nggak enak. Gangnya sempit, jalan becek kalau hujan, plus orang-orangnya suka nggosip. Emak-emak di kampung senengnya bergerombolan, dasteran, trus ngrumpi sampe siang. Nungguin anaknya pulang. Bapak-bapaknya nongkrong di pos kampung sambil main gaplek atawa catur dengan biji dakon. Obrolan kampung rame di warung kopi, mulai dari persoalan jamu kuat yang gagal mendongkrak apapun yang perlu didongkrak sampe urusan politik. Anak-anaknya bermain di pinggiran got, layangan, main air hujan atawa manjat pagar tetangga untuk sekedar ngambil mangga.

Kalau ada tetangga baru pindah, semua kepala berebutan melongok. Nyapa. Tanya-tanya detail, dulu tinggal di mana, kerja di mana, siapa aja keluarganya, kayaknya sih perhatian banget.. padahal itu sih dalam rangka ngumpulin bahan gosipan terbaru. Trus membahas segala barang milik tetangga baru di meja makan masing-masing. Tetangga nggak mau ngobrol, wah..bakalan jadi bahan omongan. Dibilang sombong, dibilang nggak gaul, dan sebagainya. Anaknya ribut dengan anak tetangga, eh emaknya ikutan berantem. Sementara emak bapaknya cakar-cakaran, si anak udah baikan lagi ama temennya. Trus nasib emak-emaknya gimana? Ya, jaga gengsi. Nggak mau baikan jelas. Nunggu ada momen hari raya untuk minta maap.

Fenomena kehidupan kampung sepertinya mirip dengan Kompasiana. Sebelum ada yang tersungging, miripnya dikit kok. Di Kampung Kompasiana, ada yang suka nggosip. Nulis pake daya imajinasi yang super liar, nggak ada datanya. Ada juga yang seneng nulis catur, apa saja bisa dikaitkan dengan problem catur. Ada beberapa orang yang saling bersitegang tentang sesuatu, yang sudah lama terjadi. Mereka saling melemparkan tulisan untuk membalas. Kalau di kampung beneran, yang dilempar bukan tulisan, tapi kantong kresek beserta isinya..hehe...

Mirip yang lainnya adalah guyub. Anggota baru nulis pasti dicolek. Dibaca tulisannya, dikomentari, dikasih tanda jempol. Trus kalo dah nulis nggak pake ngunjungi lapak tetangga, bakalan diingetin supaya sering-sering ngobrol. Padahal penulis itu bisa jadi nulisnya numpang wi fi gratis di kantor, pas jam kerja pula, trus HRDnya galak. Nggak punya modem pula. Malemnya ngempet rasa ingin tahu apa artikelnya dibaca orang apa nggak, tapi apa daya dompet tipis, nggak mampu ngenet. Besoknya mau nyuri wi fi kantor, eh ketahuan! *ngales*

Manjat ngambil mangga juga ada lho. Ada yang nulis copas dari kampung sebelah, ada yang nulis nggak pake nyebutin sumbernya. Biasanya sih diawali dengan kalimat, "Katanya si Anu... Terjadi hal ini, di sana itu, karena begitu...". Trus ketua kampung turun tangan. Ngeluarin sempritan... Prrriiiiittt! Ilang deh artikel itu.

Oya, ngomongin ketua kampung nih. Di kampung saya tuh kadang pengurusnya suka mutusin sesuatu sendiri. Jam buka tutup portal suka nggak jelas. Jadi kudu main tebak-tebakan sama feelingnya pengurus. Lha khan susah. Dulu pernah jalan diubah jadi searah. Tiba-tiba ada rambu dilarang masuk pas saya pulang kerja. Kheki bok! Terpaksa mau pulang ke rumah sendiri muter-muter nggak karuan. Lha kok di Kompasiana ini hal kadang terjadi. Kompasianer nggak tahu apa pertimbangan tim admin kok tiba-tiba ada sekian orang diundang ke Istana, ketemu idola masa kini. Trus juga nggak ada kriteria jelas dan tegas siapa yang layak dikasih label Headline dan Highlight. Penulis jadinya ngrasa kayak menang undian aja. Tahu nggak, pola itu mirip dengan munculnya perilaku kecanduan judi? Nggak percaya? Ntar deh kalau sempat saya bikin tulisan.

Bagaimana pun, walaupun, meskipun, apapun yang terjadi, tinggal di Kampung Kompasiana ini menyenangkan. Pengayaan wawasan terjadi dengan pesat, berbanding lurus dengan pemiskinan kuota internet. Sajian menu tulisannya sangat bervariasi, tinggal milih mana yang mau disantap dengan rasa batin gimana, itu sepenuhnya pilihan. Tapi kalau salah pilih trus diare, ya resiko ditanggung sendiri.

Eh ini dah lebih dari 150 kata belum ya? Gini deh, kalau dosen disuruh ngomong, eh nulis.. lupa berhenti. Siapa sih yang nyuruh nulis lebih dari 150 kata ini? *noleh kanan kiri*

Udahan ah. Ini dah lewat dari deadline. Ntar ketinggalan kereta deh saya ini...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline