Minggu lalu saya melayat seorang sahabat yang disemayamkan di rumah duka, Adi Jasa, Surabaya. Rumah persemayaman ini sangat terkenal di Surabaya, bahkan konon katanya terbesar. Adi Jasa bukan tempat yang sering saya kunjungi secara rutin, terakhir kali saya melayat sekitar 3 tahun yang lalu.
Kali ini agak berbeda. Hampir 2 hari sekali saya bersama teman-teman melayat sahabat kami. Kepergiannya meninggalkan kesan mendalam (kisahnya akan saya tulis dalam bagian lain). Terasa ada yang berbeda dalam suasana duka di Adi Jasa. Para pelayat biasanya datang malam hari. Makin malam, makin banyak orang berdatangan, terutama malam terakhir sebelum jenazah dimakamkan atau diperabukan.
Malam terakhir itu, saya terkejut ketika ditawari oleh seseorang, "Mau makan soto ayam?". Sesaat saya bengong, lupa. Ini depot atau Adi Jasa ya? Sambil menunggu saya menjawab, dia menyuguhkan minuman es cincau. Teman-teman saya menolak makan soto. Ya, saya juga dong. Malu khan kalau saya sendirian yang makan? Hehehe...
Kemudian saya perhatikan suguhan lainnya di atas meja. Wuih..banyaknya camilan! Dulu kala ketika nenek saya meninggal, suguhan paling mewah adalah roti, selain kacang dan kuaci. Kebiasaan orang Tionghoa sewaktu melayat adalah berbincang-bincang hingga larut malam, apalagi malam terakhir. Itulah sebabnya disediakan sedikit camilan. Namun tampaknya jaman sudah berubah. Variasi camilan itu bisa untuk modal kulakan buka warung kecil-kecilan. Penasaran darimana si soto ayam berasal, saya menengok ke bagian belakang ruangan (artinya pinggir jalan). Wow... ada stand khusus yang dibuka untuk melayani kebutuhan makan malam. Seorang penjual soto, menata mangkok di meja panjang. Lalu ada stafnya yang bertugas mengedarkan soto itu ke para pengunjung.
Saya bertanya pada teman, "Sejak kapan ada makan malam pakai stand khusus ini?". Teman saya berkata kebiasaan itu berlangsung sudah sejak sekitar 3-4 tahun yang lalu. Dia menambahkan, "Kalau orang kaya, makanannya lebih banyak lagi. Ada tahu tek, ada soto, ada sate, bisa milih sendiri mau makan apa". Saya mendelik. Ini suasananya duka kok jadi mirip pesta ya?
"Iya, memang seperti pesta. Semua orang yang meninggal itu tidak menderita lagi. Mereka sudah pergi ke tempat yang lebih baik. Nggak perlu ditangisi lama-lama", lanjutnya. Dan memang suasananya di sana tidak mengharubiru begitu. Malah beberapa orang asyik bercerita, tertawa, reuni dengan kawan lama, ada juga yang ngobrol serius. Keluarga sahabat saya pun tampaknya terhibur dengan kehadiran banyak orang dengan suasana yang ringan-meriah itu.
Suasana seperti itu bukan hanya terjadi di ruangan tempat persemayaman sahabat saya, tetapi juga di ruang lain. Makan malam yang menurut saya mewah itu juga ada di ruangan-ruangan lain. Tampaknya memang filosofi tentang hidup dan mati mengalami pergeseran. Hampir tidak ada orang yang menangis meraung-raung seperti dulu. Bahkan dulu itu ada orang-orang yang disewa untuk menangis. Untuk menunjukkan rasa duka mendalam dari keluarga. Paradigma bahwa jenazah itu hanyalah badannya saja, sedangkan jiwanya sudah menuju ke alam yang lebih baik turut mempengaruhi suasana di rumah duka tersebut.
Mereka berduka secukupnya. Menangis seperlunya. Dan melanjutkan kehidupannya. Bukankah memang seharusnya begitu?
---
Ilustrasi: Yustinus Slamet Witokaryono - Kompasianer Hobi Jepret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H