Politik dan hubungan internasional selalu berkaitan dan menjadi polemik di dunia karena dipenuhi oleh dinamika antar negara, baik perdamaian ataupun konflik. Hubungan internasional selalu diwarnai oleh damai dan konflik. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena banyak negara di dunia yang mengatasnamakan perdamaian untuk menimbulkan konflik, serta ada juga negara yang berkonflik untuk mencari kedamaian. Salah satu konflik yang mewarnai situasi politik dan hubungan internasional adalah konflik Armenia dan Azerbaijan. Sebelum kita membahas peran OSCE dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik peperangan yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan. Maka penulis akan membahas terlebih dahulu kondisi politik yang ada di dalam kedua negara antara Azerbaijan dan Armenia.
Armenia dan Azerbaijan adalah dua negara pecahan Uni Soviet yang terletak di wilayah Kaukasus Selatan. Pada tahun 1988, kebijakan glasnost mulai dijalankan oleh Presiden Mikhail Gorbachev, yaitu presiden terakhir Uni Soviet. Setelah kebijakan tersebut dijalankan, muncul konflik perebutan wilayah otonomi oblast Nagorno - Karabakh yang mayoritas dihuni etnis Armenia, namun berada di wilayah teritori Azerbaijan. Armenia menuntut untuk penggabungan wilayah Nagorno - Karabakh kedalam wilayah Armenia. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh Azerbaijan yang merasa Nogorno - Karabakh adalah wilayahnya.
Kedua negara tersebut dikelompokan ke dalam negara Autoritharian namun, perbedaanya dapat kita kutip dari freedomhouse.org, Azerbaijan dikategorikan sebagai negara Consolidated Authoritarian dan memiliki skor kebebasan 10/100, hal ini menunjukan bahwa di dalam Azerbaijan terjadi krisis demokrasi yang amat parah, berbeda dengan Armenia yang dikategorikan sebagai negara Semi-Consolidated Authoritarian dan memiliki skor kebebasan sebesar 55/100, karena belakangan ini dari tahun 2018, Armenia telah banyak melakukan perubahan yang tentunya didasari atas gerahnya masyarakat terhadap pemeritah yang otoriter. Tantangan bagi Azerbaijan dan Armenia adalah pemerintahan yang otoriter dan krisis demokrasi. Otoriter yang ada di dalam Azerbaijan dapat kita lihat dengan adanya dinasti politik yang dibentuk oleh Ilham Aliyev. Ia telah memerintah sejak 2003 dan Ilham Aliyev merupakan putra mantan presiden Haidar Aliyev (menjabat 1993--2003), yang pemujaan kepribadiannya mendominasi setiap bidang kehidupan publik sebagai pengganti ideologi politik. Sejak 2017, istri dari Ilham Aliyev sebagai Ibu Negara yang bernama Mehriban Aliyeva, menjabat sebagai Wakil Presiden Pertama Azerbaijan.
Dalam menghadapi covid 19 Azerbaijan melakukan kebijakan karantina nasional namun, hal ini justru semakin dimanfaatkan oleh Azerbaijan untuk membatasi kebebasan berpendapat, diskusi masyarakat dibatasi, banyak jurnalis dan aktivis yang ditangkap karena mengkritisi kebijakan pemerintah yang diterapkan, masyarakat yang berdiskusi di dalam sosial media pun dibatasi oleh pemerintah sehingga mereka banyak pendapat-pendapat mereka yang ditake down oleh pemerintah Azerbaijan. Pemilu di Azerbaijan sangatlah kotor, curang atau tidak kompetitif, karena undang-undang terkait pemilu yang ada di Azerbaijan tidak jelas, banyak pengamat politik luar negeri yang menyepakati bahwa kerangka dan aturan terkait pemilu di Azerbaijan tidak memenuhi standar Internasional. Pemilu yang diadakan pada Ferbuari 2020 sangat menunjukan krisis demokrasi di negara ini, dengan adanya kecurangan dan pelanggaran pemilu, kemudian oposisi yang ingin mengangkat masalah ini ditangkap oleh pemerintah.
Konflik peperangan yang terjadi di antara kedua negara tersebut awalnya muncul karena Armenia dan Azerbaijan adalah dua negara pecahan Uni Soviet yang terletak di wilayah Kaukasus Selatan.
Pada tahun 1988, kebijakan glasnost mulai dijalankan oleh Presiden Mikhail Gorbachev, yaitu presiden terakhir Uni Soviet. Setelah kebijakan tersebut dijalankan, muncul konflik perebutan wilayah otonomi oblast Nagorno - Karabakh yang mayoritas dihuni etnis Armenia, namun berada di wilayah teritori Azerbaijan. Armenia menuntut untuk penggabungan wilayah Nagorno - Karabakh kedalam wilayah Armenia. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh Azerbaijan yang merasa Nogorno - Karabakh adalah wilayahnya. Perang tersebut telah memakan korban sekitar 2.700 personil militer Azerbaijan, meskipun akhirnya terjadi gencatan senjata pada November 2020 yang memenangkan Azerbaijan untuk tetap memiliki otoritas terhadap wilayah Nargono Karabakh. Peperangan tersebut menimbulkan rasa simpati dan empati banyak pihak, seperti PBB (Perserikatan Bangsa - Bangsa) dan UE (Uni Eropa) yang turut berperan agar konflik tersebut segera diakhiri. Upaya internasional tersebut turut melibatkan OSCE (Organization for Security and Co-Operation in Europe) sebagai organisasi keamanan regional. Konflik ini terus mengalami perpanjangan.
OSCE membentuk Minsk Group pada tahun 1992 untuk merumuskan solusi damai terkait konflik yang terjadi di Nagorno - Karabakh. OSCE membentuk Minsk Group sebagai mediator yang memfasilitasi pertemuan pemerintah Armenia dan Azerbaijan agar kedua belah pihak dapat segera menemukan solusi penyelesaian konflik (Javafora, 2011). Proses perdamaian yang dilakukan OSCE Minsk Group melibatkan tiga negara yang memiliki peran utama, yaitu Rusia, Amerika Serikat, dan Perancis. Penyelesaian konflik telah diupayakan, namun baik Armenia ataupun Azerbaijan masih saling melakukan pelanggan gencatan senjata. Pada tahun 2010 hingga 2016, terjadi berkali-kali saling tembak antara kedua negara. Pada bulan Juni 2010, ditemukan empat sedadu wajib militer Armenia dan seorang prajurit Azerbaijan tewas setelah terjadi baku tembak di dekat desa Chaylu, Nagorna - Karabakh (Fuller. 2010). Pada tahun 2016 di bulan April, situasi semakin memanas dengan adanya serangan besar yang dilakukan oleh Azerbaijan dengan melibatkan senjata berat seperti tank, helikopter, dan artileri berkaliber besar. Jumlah korban penyerangan 2016 diperkirakan mencapai 350 jiwa dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil (US. Departement of State, 2016) OSCE Minsk Group dalam proses mediasi antara Armenia dan Azerbaijan memerlukan waktu hampir 30 tahun, namun hingga saat ini OSCE belum berhasil membawa pihak Armenia dan Azerbaijan menuju proses perdamaian jangka panjang.
Ketidak berhasilan OSCE dalam mendamaikan konflik antara Armenia dan Azerbaijan dapat terlihat dari status Nagorno - Karabakh yang belum disepakati. Konflik antara Armenia dan Azerbaijan masih berlangsung hingga saat ini.
Dalam penyelesaian konflik antara Armenia dan Azerbaijan tidak ditemukan dokumen resmi yang berhasil disepakati antara kedua belah pihak yang berkonflik dibawah proses mediasi yang dipimpin oleh OSCE. Kegagalan mediasi yang diupayakan OSCE dalam penyelesaian konflik antara Armenia dan Azerbaijan disinggung oleh Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev pada pidatonya di KTT informal dewan Turki tanggal 31 Maret 2021. Menurut Ilham Aliyev, upaya OSCE Minsk Group selama ini tidak menghasilkan upaya perdamaian apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H