Papua, dengan keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya, semakin terancam akibat pembabatan hutan yang masif untuk perkebunan sawit. Pembukaan lahan perkebunan sawit di Papua melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan perkebunan, dan masyarakat adat. Aktivitas ini mengakibatkan berbagai dampak negatif baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang saling terkait. Melalui teori keadilan John Rawls, kita dapat mengevaluasi siapa yang mendapat keuntungan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana keseimbangan hak-hak individu dan masyarakat secara keseluruhan terjaga.
John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice” (1971), mengajukan konsep keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness) dan dua prinsip utama:
- Prinsip Kebebasan yang sama: Setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar.
- Prinsip Perbedaan (Difference Principle): Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar kepada mereka yang paling kurang beruntung, dan posisi serta jabatan harus terbuka bagi semua dalam kondisi kesetaraan yang adil.
Dengan konsep ”posisi asli” (original position) dan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance), Rawls menekankan bahwa prinsip-prinsip keadilan harus dipilih tanpa memihak, mengutamakan mereka yang paling kurang beruntung, seperti masyarakat adat Papua.
Pembabatan hutan Papua telah mengakibatkan deforestasi yang signifikan, dengan dibukanya perkebunan seluas lebih dari 36 ribu hektar di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan pada tahun 2021. Deforestasi ini tidak hanya menghancurkan ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati tetapi juga mengakibatkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Pembakaran hutan yang sering dilakukan untuk membersihkan lahan menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon, yang berkontribusi pada perubahan iklim global. Akibatnya, dampak negatif terhadap lingkungan dan iklim semakin parah, mengancam kehidupan berbagai spesies flora dan fauna, serta merusak keseimbangan alam yang telah terbentuk selama ribuan tahun.
Menurut teori keadilan lingkungan, Pembabatan hutan Papua untuk perkebunan sawit dianggap tidak adil karena merusak lingkungan yang merupakan hak warisan bagi generasi mendatang dirusak untuk keuntungan jangka pendek segelintir perusahaan.
Masyarakat adat Papua, khususnya perempuan, mengalami dampak yang sangat merugikan dari pembabatan hutan ini. Hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan yang menyediakan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Alih fungsi hutan menyebabkan hilangnya ruang produksi bagi perempuan adat yang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Menurut teori keadilan sosial, Tindakan ini tidak adil karena kekayaan dan sumber daya yang semestinya dimiliki bersama malah dialihkan kepada perusahaan besar, sementara masyarakat lokal justru menjadi korban, memperparah ketidakadilan sosial.
Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit sering kali didorong oleh alasan ekonomi, seperti peningkatan pendapatan daerah dan penciptaan lapangan kerja. Keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar dan segelintir elit lokal, sementara masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya sering kali hanya menerima dampak negatif.
Menurut Keadilan distributif menuntut agar manfaat ekonomi dari perkebunan sawit dibagi secara adil diantara semua pihak yang terlibat. Hal ini termasuk memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat yang kehilangan mata pencaharian dan memastikan bahwa mereka juga mendapatkan manfaat ekonomi dari perkebunan tersebut, seperti lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur.
Keterlibatan elit politik dalam proses pemberian izin lahan untuk perkebunan sawit juga menciptakan konflik kepentingan yang serius. Beberapa anggota DPR dan mantan pejabat tinggi diduga memiliki kepentingan langsung dalam perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di Papua. Hal ini memperlihatkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak didasarkan pada kepentingan publik, melainkan kepentingan segelintir elit.
Dalam konteks teori keadilan procedural, ini menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak. Proses yang adil seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati.