Banyuwangi dikenal sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi memiliki garis pantai yang membentang mulai ujung Barat hingga ujung Utara. Hutan di sisi Selatan dan Utara, serta barisan pegunungan yang megah. Terkenal akan kenampakan alamnya yang elok serta kulturnya yang unik dan sakral. Kekayaan alam dan kultural Banyuwangi dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten untuk menaikkan APBD daerah. Kemajuan pariwisata Kabupaten Banyuwangi melesat dimulai pada tahun 2010. Yaitu pada masa kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas. Pemerintah kabupaten Banyuwangi sangat gencar mempromosikan pariwisata Banyuwangi pada tahun tersebut. Dampaknya adalah mendorong lonjakan wisatawan domestik maupun mancanegara di tahun-tahun berikutnya.
Salah satu wisata kultural yang selalu masuk event tahunan Pemkab Banyuwangi adalah upacara adat Keboan Aliyan. Upacara ini diselenggarakan rutin setiap tahun, tepatnya pada bulan Suro (Muharram) di desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Masyarakat desa Aliyan merupakan Suku Using. Suku Using dikenal sebagai suku yang menggantungkan hidupnya pada sektor agraris. Upacara Keboan Aliyan sendiri merupakan upacara yang erat kaitannya dengan pertanian (Lestari et al., 2016). Upacara Keboan Aliyan sudah ada sejak abad ke 18. Ini merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun yang tetap dilestarikan oleh masyarakat desa Aliyan.
Ritual ini rutin diadakan karena masyarakat mempercayai bahwa jika tidak dilakukan maka akan mendatangkan musibah atau bala ke desa mereka (Oktavia, 2019). Keboan sendiri berarti kerbau jadi-jadian. Dalam ritual Keboan tidak ada hewan kerbau yang dilibatkan dalam upacara, melainkan para manusia atau warga yang berdandan dan berperilaku layaknya kerbau. Menurut sastrawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, masyarakat Aliyan yang menjadi keboan atau 'manusia kerbau' tidak dipilih oleh tokoh adat setempat. Mereka dipilih oleh arwah leluhur. Jumlah keboan desa Aliyan tidak menentu. Terkadang di tahun ini banyak, bisa juga di tahun berikutnya sedikit. Ini tergantung berapa orang pada tahun tersebut yang terpilih dan dirasuki oleh roh leluhur.
Cerita Rakyat yang Melatarbelakangi
Menurut sejarahnya, keboan di Desa Aliyan awalnya dikarenakan adanya wabah penyakit yang menyerang lahan pertanian selama bertahun-tahun. Pendiri cikal bakal Desa Aliyan, yaitu Buyut Wongso Kenongo meminta petunjuk dari Sang Pencipta. Lalu ia mendapatkan wangsit bahwa anaknya, Joko Pekik untuk bermeditasi. Terjadi sesuatu yang aneh, Joko Pekik mendadak berguling-guling di persawahan seperti kerbau. Setelah itu wabah penyakit menghilang dari Desa Aliyan. Sebab itu ritual keboan sebagai tolak bala berlangsung turun temurun di Desa Aliyan hingga saat ini. Dimaksudkan agar lahan pertanian warga terhindar dari wabah penyakit dan hasil panen yang melimpah.
Di Desa Aliyan sendiri terdapat dua dusun yang mempertahankan tradisi Keboan, yaitu di Dusun Aliyan dan Dusun Sukodono. Kedua dusun ini berkaitan dengan kedua putra Buyut Wongso Kenongo, Buyut Pekik dan Buyut Turi. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono.
Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal. Oleh karena itu, meskipun tradisi Keboan Desa Aliyan meskipun ritualnya sama dan digelar pada hari yang sama, namun waktu pelaksanaan dan jalur ider bumi (berkeliling desa) yang dilewati oleh Keboan berbeda. Sebab jika Keboan dari keturunan leluhur yang berbeda ini bertemu, maka akan terjadi saling serang. Setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan" asal Sukodono, bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam Buyut Turi. Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan, Krajan, Temurejo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Buyut Pekik.
Prosesi Upacara Adat Keboan Aliyan
Ritual Keboan Desa Aliyan ini diawali dengan mendirikan gapura dari bambu yang dihiasi dengan hasil pertanian masyarakat setempat seperti padi, jagung, tebu, dan beraneka macam buah-buahan serta sayuran. Gapura tersebut didirikan di setiap gang yang ada di desa sebagai simbol kesuburan. Selanjutnya mereka menggelar selamatan di empat penjuru desa yang dipimpin sesepuh desa. Doa dipimpin sesepuh desa. Doa ditujukan kepada Yang Maha Kuasa dan pendiri desa, yaitu Ki Buyut Wongso Kenongo, agar seluruh warga dijauhkan dari mara bahaya (Fatmawati, 2019).
Usai selamatan, dimulailah arak-arakan keboan. Mereka akan diarak layaknya kerbau yang sedang membajak sawah oleh para petani serta seorang perempuan cantik sebagai simbol Dewi Sri yang menaburkan benih padi sepanjang jalan desa. Mereka terbagi dua kelompok, yaitu kelompok timur di wilayah Dusun Krajan, Cempokosari dan Temurejo. Sedangkan untuk kelompok barat masuk wilayah Dusun Sukodono, Kedawung dan Damrejo.