Lihat ke Halaman Asli

Stres dan Petani Tembakau

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Setiap tahun para petani di jawa timur khususnya yang menjadikantembakau sebagai tanaman andalan mengalami kekecewaan. Perasaan kecewa itu disebabkan karena harga yang ditawarkan tengkulak tak sepadan dengan jerih payah para petani. Betapa tidak, biaya petani dari awal tanam hingga panen tidaklah murah, muali dari pembelian bibit, obat-obatan, pupuk, dan biaya perawatan. Belum lagi saat terjadi cuaca yang buruk, sehingga membuat mereka gagal panen.

Tahun ini jumlah petani yang tetap menanam tembakau masih sangat tinggi, hal ini membuktikan bahwa mereka masih menaruh harapan yang besar akan hasil yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. akan tetapi harapan tinggalah harapan, kondisi yang sama terulang kembali.

Banyak dari mereka yang mengalami stres. Hal ini wajar karena jelas dari awal mereka telah membangun harapan-harapan baru, tetapi pada akhirnya mereka masih mengalami kegagalan yang sama. Kemaren, saat penulis pulang kerumah, yaitu di daerah Lamongan, ada beberapa tetangga yang mengeluh, atau sekedar curhat terkait kondisi pertanian mereka. yang menarik dari perbincangan kami adalah mereka menyadari bahwa mereka terjatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Akan tetapi mereka bingunng, kenapa mereka tetap memilih jalan itu lagi, seolah tidak ada pilihan lain selain menanam tembakau.

Terlepas dari karakter masyarakat desa yang memiliki penerimaan diri yang tinggi,jika dilihat dari kondisi perekonomian jelas mereka mengalami kegagalan. Secara teori kondisi yang buruk itu jelas berpengaruh terhadap kejiwaan mereka. akan tetepi faktanya penulis belum menemukan gejal-gejala stres yang parah pada masyarakat. Misalkan seperti mengalami keputusasaan terhadap masadepan, menghindari aktivitas yang dulu pernah disukai, seperti menanam tembakau sebagai wujud pilihan yang mereka sukai dan seterusnya.

Dari fenomena diatas tentunya muncul tanda tanya besar. Di satu sisi mereka menyadari bahwa mereka terjebak di lubang yang sama, tetapi anehnya mereka tetap saja mengulanginya lagi. apakah memang itu jalan satu satunya yang dapat ditempuh mereka sehingga tidak mau mencoba alternatif lain, misalkan dengan menanam labu atau menanam jagung, yang sekiranya dapat ditanam pada musim kemarau.

Berangkat dari sana, kira-kira seperti apa kondisi psikologis para petani tembakau, dengan tekanan yang berat mereka masih mampu bertahan. Kalu boleh berasumsi sebenarnya mereka juga mengalami stres akan tetapi pada tingkatan tertentu, kemudian karena mereka memiliki well bieng yang tinggi sehingga kondisi terpuruk itu tidak bertahan lama. hingga gilirannya pada musim kemarau berikutnya mereka kembali menanam tembakau, meski mereka tidak tahu seperti apa hasilnya nanti.

29-9-2014 malang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline