Lihat ke Halaman Asli

Ada yang Pergi dari Lukisanku

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua tampak normal seperti tidak ada masalah. Ya, dalam sebuah awak kapal yang sudah 3 hari mengapung di laut paifik itu tampak seperti biasa. Terlihat beberapa gerombol anak-anak sedang asik bermain di tepian pagar kapal pesiar itu. Gelombang ombak yang silih berganti menjadikan kapal tampak bak ayunan raksasa. Tentunya itu merupakan pengalaman tak terlupakan bagi mereka, terutama yang menjadikan momen ini sebagai pengalaman pertama. Namun, Ada satu anak yang terlihat murung, wajahnya segelap batu, ia hanya kaku diambang pintu tempat dimana nakoda mejalankan aktivitasnya.

Yah, kapan kita sampai?”. Tanya anak itu kepada ayahnya.

“Manuel ingin segera pulang” imbuhnya.

“ tenang, besok kita pasti sudah sampai kok” jawab ayahnya sambil memegang pusat kendali kapal.

anak itu tidak terlihat seperti anak-anak yang lain. Ia sering terlihat murung dan jarang sekali bergaul dengan anak-anak yang lain. Ia hampir tidak pernah beranjak dari pintu tempat kerja ayahnya.

Kapal yang memuat lebih dari 300 penumpang itu terus berjalan tanpa henti, meski sesekali berganti halauan karena menghindari gumpalan es yang membeku. Nakoda ini tampak begitu hafal dengan medan yang ia lalui ini. Mungkin karena saking seringnya dan ditambah lagipengalamnya yang sudah 15 tahun menjadi pemimpin kapal pesiar. Ialah Mr. Eric seorang nakoda andalan asal Eropa.

Sudah 3 jam kapal itu mengapung diatas air es, gumpalan keras dengan lekun’an yang tajam semakin jelas terlihat. Para rombongan kapal mulai merasa kedinginan, anak-anak yang tadinya asik bermain kini kembali ke pangkuan orang tuanya masing-masing. Akan tetapi, lagi-lagi Manuel masih tetap diambang pintu, meskipun sesekali ia berdiri, dan kembali duduk lagi. tentunya masih dengan ekspresi wajah yang sama.

Nak diluar hawanya sangat dingin, ayo masuk kedalam, temani ayah disini” rayu ayahnya dengan pandangan yang sesekali melirik jarum kompas.

Namun tidak ada respon sedikitpun dari anaknya. Meski demikian ayahnya tidak tinggal diam, disela-sela kesibukan mengendalikan kapal ayahnya masih tetap menyempatkan diri untuk menjumpai anaknya. Dan setiap kali ayahnya mengajak masuk kedalam Manuel selalu bersikukuh menolak ajakan ayahnya. Sehingga hanya dengan mengenakan jaket merah tebal di badan anaknya yang dapat ia lakukan.

Eric memang orang tua yang sangat sabar, bahkan ia hampir tidak pernah memarahi anknya. Ia benar-benar menjaga perasaan anaknya terlebih setelah kejadian tragis yang menimpa Ibunya sebulan yang lalu. sehingga Ayahnya memaklumi perasaan yang dirasakan anaknya. Semenjak menjadi yatim itulah sikap dan perilaku Manuel berubah drastis.

Awan hitam yang semula tampak di kejuhan kini sudah berada diatas kepala. Laju kapal pun kini sedikit melambat. Tidak ada satupun orang yang berada diluar ruangan. Guntur menerobos kesela-sela ruangan menyorot wajah yang penuh cemas dan ketakutan. Darr!!! Darr!!! Suara petir yang mengikutinya memecah keheningan.

Kecemasan itu juga dialami oleh Eric. Saat ia menoleh ke arah pintu ternyata ai tidak melihat anaknya.

Manue... Manuel”. Teriak Eric memanggil anaknya.

Kondisi cuaca yang menakutkan ditambah lagi dengan hilangnya anaknya semakin memperburuk suasana. Dalam kondisi ini benar-benar dilema. Karena Ia harus memilih, mencari anaknya atau harus tetap menjalankan tugasnya sebagai satu-satunya pengendali kapal. Namun perasaan khawatir yang begitu besar terhadap anaknya mebuat ia mengambil keputusan untuk keluar dari ruangan dan mencari anaknya.

Ombak yang semakin besar bertubi-tubi menghantam awak kapal. Namun hal ini tidak mengurungkan niat Eric dalam mencari anak kesayangannya. Sementara didalam kapal terdengar ratusan orang berteriak, mereka saling berpegangan tangan, dan bahkan ada yang menjerit histeris.

“Tenang...tanang kita akan baik baik saja”. seru seorang pemuda dengan tas ransel besar dipunggungnya. Dengan begitu keadaan menjadi sedikit tenang.

Darr.!! Kembali lagi petir menyambar, kali ini suaranya terdengar begitu jelas, dan terasa begitu dekat. Kapal yang sebelumnya berlayar menuju ke barat kini perlahan berbelok kearah utara.

“Manuel... Manuel..kamu dimana nak!!” tak henti-hentinya nama itu keluar dari mulut Eric.

Bahkan suara itu terdengar hingga telinga para penumpang. Dan anak muda beransel besar tadi keluar dari ruang penumpang. Ia mencari dari mana arah teriakan itu berasal.akhirnya ia menemukannya diujung kapal. Dengan setengah berlari ia mendekatinya.

“Siapa yang anda cari” tanya pemuda itu.

“Manuel, anak saya, apakah anda tahu dimana ia berada?” jawab Eric dengan suara terbata-bata.

“tidak, saya tidak melihat anak Bapak. Apakah anda ini nakoda kapal ini?.” tanya pemuda yang telah basah kuyup karena hujan lebat. Dengan melihat bajunya orang akan sangat mudah orang mengetahui kalauEric adalah kapten kapal.

“Iya” jawab Eric

“bagaimana bisa kondisi cuaca buruk seperti ini anda malah meninggalkan kendali kapal.” Sontak pemuda itu.

“Berapa ratus nyawa yang telah anda pertaruhkan disini?.” Sambung pemuda.

Keadaan semakin tidak terkendali. Kapal berpenumpang ratusan orang itu kini tidak memiliki arah yang jelas.

“itu...itu” teriak pemuda. sambil menunjuk jauh kearah belakang kapal.

Terlihat dari kejauhan jaket merah yang mengapung dilautan.

Tanpa pikir panjang Eric berlari menuju ruang kendali kapal. Ia memutar balik arah kapal dan segera mendekati warna merah yang diduga adalah anaknya. Ternyata benar jaket yang dikenakan itu sama persis seperti apa yang ia kenakan pada anaknya. Setelah semakin dekat pemuda yang tadi itu dengan beraninya melompat dan membawa Manuel ke awak kapal.

Namun tubuh anak laki-laki yang masih berumur 12 tahun itu membiru karena dinginnya air laut. Eric kemudian bergegas membopong anaknya kedalam ruangannya dan menyelimutinya dengan pakaian yang ia pakai. Dalam dekapan pakaian putih yang masih menempel nama ayahnya itu Manuel menggigil.

***

Kini manuel benar-benar pulas meski hanya berselimut baju ayahnya. Dalam lelapnya itu ia terbangun.

Ibu... ibu... ?

Seketika ayahnya bergegas mendatangi anaknya. Tapi, kali ini entah kenapa ia tak membangunkan anaknya seperti biasanya ketika Manuel mimpi buruk.

“ibu inggat kan lukisan teraihr yang aku buat dihalaman rumah dulu, saat itu ibu duduk disampingku dan menemaniku hingga kain kanvas itu penuh dengan coretan yang kubuat. Disana ada Manuel, Ayah, dan juga ada Ibu. Ingat kan bu”. Ayahnya hanya bisa diam mendengarkan perkataan anaknya. “Kita bertiga asik bersama-sama memandangi hamparan laut yang dirangkul oleh senja. Indah sekali bu. Tapi kenapa sekarang gambar ibu menghilang. Hanya gambar ibu yang hilang. Ibu kemana”.

“Yah, tau ngak kemaren ada seorang wanita berambut pirang yang mau mencuri lukisan ku yah. Lalu aku kejar tapi kemudian aku terjatuh di kolam depan rumah”. Saat itulah Ayahnya baru menyadari penyebab jatuhnya anaknya dari kapal. Dan ia begitu yakin bahwa wanita pirang yang anaknya maksud adalah Ibunya.

***

“Ayah, lihatlah lukisanku ini. ternyata benar, Ibu telah meninggalakn kita”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline