Peserta No:78
Suara pemberitahuan dari stasiun sudah terdengar, seorang pemuda menjinjing tas ranselnya dan bersiap menuju Pemalang. Memang, tidak banyak orang tahu dimana tempat itu, bahkan ada orang yang menyamakannya dengan Malang, kota tempat tinggalnya saat ini. Namun, bagi Dani hal itu lumrah, karena daerahnya tidak banyak diekspos media seperti kebanyakan kota besar di Indonesia.Dia melihat arlojinya, ditatapnya detik demi detik jarum bergerak. Saat itu jam menunjukkan pukul 5 sore, sedangkan kereta api baru datang jam 5: 15. Ia pun merasa perlu menghabiskan waktunya sebelum berangkat pulang menuju rumah neneknya.
Ia dengarkan headsetnya sambil memakan bawaanya yang disiapkan dari rumah. Sambil membaca artikel dari media lewat internet, ia habiskan waktunya menunggu kereta api. Tak lama kemudian, suara pemberitahuan pemberangkatan sudah terdengar, namun ia masih juga menikmati kesibukannya saat itu. Kereta pun mulai berjalan pelan, ia pun segera merapikan barang-barangnya dan bergegas. Kereta pun mulai cepat meninggalkan stasiun, ia berlari sekuat tenaga. Untungnya ada petugas kereta yang menariknya, hari itu seolah-olah menjadi hal yang tidak baik baginya.
Dengan nafas terengah-engah, ia mencari tempat duduk sesuai karcis yang dimilikinya. Tepat, saat itu ia duduk di tempat yang tidak ada sama sekali penumpang disana. Ia meneruskan kesibukannya yang sejak tadi ia lakukan dengan menenteng camilannya. Ketika mendengar lagu Kunto Aji ia terdiam...
“ Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama asyik sendiri”
Ia hanya bisa tersenyum dan menikmati cemilannya. Bagi orang lain di usia seperti Dani yang mencapai 27 tahun adalah usia yang sudah matang untuk mencari teman hidup. Tapi, berbeda dengannya, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya di toko elektronik. Memang, baginya itu mengumpulkan modal terlebih dahulu disertai tekad kuat setelah itu dia akan menata kehidupannya di masa depan.
Teringat pula dibenaknya bahwa orang-orang dahulu itu menikah dengan umur yang matang dan rata-rata lama sekali mencari teman hidup, bahkan mereka harus melihat tangan pasangannya itu apakah pernah dipegang oleh orang lain ataukah tidak. Begitulah yang terpikir dibenaknya kata-kata gurunya saat ia masih nyantri dulu. Ia berharap tidak sembarangan dalam memilih.
Hari itu memang pertama kalinya ia naik kereta api. Setelah beberapa saat ia di telepon oleh orang tuanyaia dinasihati dan jangan mengulangi kembali tindakan konyolnya itu. Seperti yang sudah diceritakan oleh orang tuanya , ia harus melewati lebih dari beberapa jam untuk mencapai ke rumah neneknya menghadiri syukuran.
Shubuh, tepatnya jam setengah lima ia datang di Pekalongan dan merebahkan badannya sejenak kemudian menunaikan sholat. Dilihatnya pemandangan disana sudah berbeda sejak lima tahun terakhir di datang kesana. Ia pun meneruskan perjalanan menuju terminal kota Pemalang, dengan menumpang bus kecil. Di dalam bus yang penuh itu bercampur baur dengan aroma khas orang pedesaan. Sayur-sayuran dan berbagai macam bawaan para penumpang.
Tepat pukul setengah sepuluh ia datang di rumah neneknya. Ibunya yang saat itu sudah berada disana menyambutnya dan ia mencium tangan ibu dan neneknya yang ketepatan di ruang tamu depan. Aroma khas pedesaan yang berbeda dengan di tempat tinggalnya di Jawa Timur itu memang sesekali membuatnya ia rindu hingga kali ini ia mampu menikmati kembali. Meskipun perempuan desa dikenal kecantikan alaminya, ia belum bisa mendapatkan sesosok model yang menurutnya pas untuknya.
Ketika ia sedang melamun, seseorang datang membuyarkan lamunannya. Dilihatnya seseorang yang asing di depannya yang belum ia kenal. Akan tetapi, di belakang orang tersebut ada seorang perempuan yang tidak asing wajahnya baginya karena hanya dikenalnya lewat dunia maya. Ia langsung mempersilahkannya masuk dan ibu yang berada disana merasa senang dengan orang itu. Ia masih heran dan bertanya-tanya apa benar tamu itu merupakan teman masa kecil ibunya dan dibelakangnya Aira yang dikenalnya lewat facebook.