Di ufuk timur, matahari sudah meninggi sedangkan Ari masih tertidur dengan sekelilingnya penuh dengan sampah-sampah . Segala aroma sampah sudah terhirup olehnya, bahkan bajunya pun ikut-ikutan berbau yang sangat menyengat. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali melawan hari dengan mencari barang-barang bekas , bahkan makanan yang sudah basi.
Sebentar lagi bulan Ramadhan datang, akan tetapi hidupnya masih demikian. Sepeninggal orang tuanya yang tiada , ia harus mencari sesuap nasi sendiri , seadanya . Akan tetapi, dengan keadaan seperti itu, ia tak kenal lelah menghidupi dirinya sendiri. Bahkan di jalanan yang ramai, ia harus berkejar-kejaran dengan preman yang akan mengambil uangnya.
Hari demi hari pun berlalu, rutinitasnya pun tetap seperti itu, hingga saat berbuka pun ia lakukan dengan makanan seadanya yang ia peroleh dari hasil mencari barang-barang bekas. Rasa untuk belajar agamanya sangat tinggi, terkadang ia ingin masuk musholla yang disana banyak anak mengaji, akan tetapi ia tak punya lagi pakaian yang layak untuk masuk. Meski seperti itu ia berpuasa di bulan Ramadhan.
Hingga suatu saat mendung dan hujan lebat, ia tak tahu harus kemana. Kalau ia kembali ke tempat tidurnya seperti biasanya, ia akan basah kuyup dan kembali tidur dengan segala aroma sampah yang tak jauh darinya. Ia masih berjalan sampai menemukan musholla yang sering ia kunjungi. Sesampainya di musholla, adzan berkumandang dan perutnya mulai keroncongan.
Waktu itu di musholla diadakan buka bersama, ia hanya memandang dari jauh . Ia khawatir mendekat , karena sudah basah kuyup dengan pakaian kotornya. Melihat seseorang anak sedang kehujanan dan melihat ke arah musholla, seorang takmir masijid memberikannya sebungkus nasi dan disuruhlah ia berteduh. Setelah selesai makan, ia pun ditanyai oleh orang-orang masjid asal muasalnya dan hidup dimana.
Mendengar penuturan yang panjang lebar, salah satu diantara mereka menyuruhnya mandi dan membersihkan seluruh badannya. Ari pun senang, karena ada yang masih peduli padanya. Hingga beberapa waktu lamanya, ia membantu musholla dan mengikuti beberapa kegiatan di dalamnya.
Lain Ari lain Riza, ia anak seorang yang mampu secara materi. Ayah ibunya pun memiliki harta berlimpah. Meski begitu , mereka tidak lupa dengan pendidikan anaknya. Disekolahkanya Riza di sekolah favorit sampai tak lupa dengan memondokkannya di pesantren yang cukup jauh dari rumahnya. Awalnya ia masih mengikuti perintah orang tuanya, setelah beberapa tahun ia mulai bosan. ia mulai tidak suka ketika sudah pulang dari pesantren dan kembali ke sana.
Kedua orang tuanya bingung, padahal sudah tahun kedua anaknya nyantri . Tentunya dengan keadaan seperti itu, ia sudah betah untuk tinggal. Setelah dinasihati beberapa kali, ia patuh dan kembali ke pesantren dan sekolah hingga SMA nya selesai.
Setelah selesai SMA ia sudah keluar dari Pesantren, ia pun senang dan merasa bebas. Setelah di rumah, bukannya malah melanjutkan ke pendidikan tinggi atau bekerja. Ia malah sering keluar rumah bersama kawan-kawannya, bahkan hingga larut malam ia pulang dengan sempoyongan.
Orang tuanya mulai khawatir dengan keadaan anaknya tersebut, dengan segala cara mereka lakukan mulai dari memanggil guru privat keagamaan hingga mengunci rapat-rapat pintu rumah bila mereka keluar, akan tetapi usaha mereka gagal. Ia selalu pulang dengan nada meninggi , meski kadang-kadang dengan lemah lembut ia berpamitan keluar kepada orang tuanya.
Setelah sampai berlarut-larut malam, ia tak juga kembali hingga ditemukan para warga dalam keadaan babak belur dan sempoyongan. Ia terkulai lemah di kamarnya dan dirawat selama berhari-hari dan tak berpuasa selama itu. Selama orang tuanya keluar, ia dikunci dalam kamarnya. Kunci kamar tersebut dititipkan kepada pembantunya, namun dengan siasatnya ia bisa keluar bebas hingga malam pun datang dengan mendungnya.