Lihat ke Halaman Asli

ACFTA dan Globalisasi--Bagi Negara yang Bukan Kolam Susu

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Energi besar milik bangsa besar ini yang seharusnya digunakan untuk membangun negeri ternyata belum mengalir dan tersalurkan maksimal seperti yang idealnya di mimpikan mereka yang percaya.

saat fakta mulai berlakunya (entry into force) framework agreement of ASEAN-CHINA FTA bukan sesuatu yang dirahasiakan atau di sembunyikan justru menjadi milik bersama, dan menjadi tak terhindarkan lagi, energy besar tadi tidak juga menggerakan anak-anak bangsa ini untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan untuk sekedar bertahan walau tak kunjung bersaing.

international trade yang kali ini dikemas dalam FTA yang konon hadir di muka bumi, termasuk nusantara ini, untuk menggenapi kebutuhan anak-anak bangsa yang tidak selalu semudah simsalabim atas “kolamsusunya” (pinjam istilah koesploes), tidak juga dimanfaatkan demikian. konsep ideal perdagangan bebas yang pada dasarnya demi effisiensi terpenuhinya kebutuhan konsumsi sebagaimana teori David Ricardo pada on the principal of economy and taxation, justru dipandang sebagai monster menakutkan yang akan memangsa anak-anak kecil (baca:industri kecil) yang bahkan baru berani bermain di halaman rumah saja.

jika konsep intermestic tepat diterapkan dan disikapi, maka anak-anak bangsa ini akan menjadi anak-anak dunia yang tangguh yang nantinya menjadi glocals dengan berpijak pada identitas bangsa yang besar ini.

[ilustrasi]

tentu menyenangkan hidup menjadi anak kecil yang selalu mendapat pengasuhan dan perlindungan orang tua, tapi tentu hidup tak bisa di bekukan dan akan ada masanya anak-anak kecil itu harus bermain di luar halaman, menjadi dewasa, bertemu anak-anak besar lain dan bersaing, baik untuk bertahan maupun untuk menjadi pemenang.

anak-anak kecil itu tak bisa menghindari keharusan bertumbuh jika tak ingin menjadi si kerdil yang bangga atas kekerdilannya

teringat yang di sampaikan parang jati kepada yuda “tiba-tiba semua orang kerdil menjadi congkak akan kekerdilan mereka dan menyalahkan orang-orang yang lebih tinggi dari mereka.....lihatlah. mereka berteriak:hidup kekerdilan" [parang jati--BF p.240]

bukannya menghindar dari menjadi kerdil, mereka yang idealnya suatu keluarga besar saling mendukung adik kecilnya belajar bermain di halaman yang lebih besar, malah saling menyalahkan dan mempertanyakan kodrat alam perihal waktu dan keharusan si anak kecil untuk menjadi dewasa dengan bersaing dan mengalahkan.

virus yang mengakibatkan mereka yang terjangkit menjadi kerap mencari kambing berwarna hitam untuk di cerca dan di persalahkan atas sakitnya, melanda mereka-mereka yang energi besarnya berada di ranah negative penuh benci. mereka-mereka itulah yang kemudian bersemangat penuh energi menyalahkan pemerintah karena mem”biar”kan industri-industri nya bersaing dengan industri-industri dari negaranya chinmi “sang kungfuboy yang tidak lagi boy”.

andaikan energy besar mereka bergerak ke kutub positif dan ber transformasi menjadi ide-ide kreatif dan semangat memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk menjadi dewasa dan bersaing, maka indahnya kolam susu itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline