Pada tahun 1900 ada sekitar empat puluh Ibu Kota Negara (IKN) di dunia dan satu abad kemudian tepatnya pada tahun 2000 IKN memiliki jumlah sekitar dua ratus kota (Gordon, 2006). Dua revolusi besar dunia memiliki andil besar terhadap peningkatan IKN yakni runtuhnya kekaisaran dan pembentukan federasi (Vale, 2006).
Lanskap IKN pada satu abad terakhir cukup menarik mengingat 75 persen IKN pada tahun 1900 sudah tidak diberi mandat lagi pada tahun 2000. Hal ini menandakan bahwa fenomena relokasi Ibu Kota Negara (IKN) merupakan satu opsi kebijakan yang sering ditempuh negara-negara di dunia, bahkan rata-rata setiap enam tahun terjadi relokasi pada abad ke-19 (Illmann, 2015).
Di Indonesia relokasi IKN selalu menjadi mandatory issue hampir di setiap rezim pemerintahan yang berkuasa. Dimulai dari isu pemindahan Ibu Kota ke Palangkaraya pada masa rezim Presiden Soekarno, kemudian isu Jonggol sebagai pengganti DKI Jakarta pada masa Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(Sugianto, 2017).
Kemudian ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Sepaku dan Samboja sebagai lokasi Ibu Kota baru, saat ini Indonesia diambang pintu keluar dari considered relocations state menuju suatu negara yang merelokasi Ibu Kota Negara.
Persoalan utama dalam suatu kebijakan adalah terdapatnya asimetris informasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat. Ditambah lagi era post-truth dan kemajuan teknologi informasi membuat media sosial dan elektronik menjadi sumber berita yang didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang membuat masyarakat menjadi bingung memilah kebenaran terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa (Haspramudilla, 2019).
Pro kontra argumen menjadi polemik tersendiri di kalangan elit politik dan pemangku kebijakan. Beban demografi dan zona rawan bencana menjadi alasan kenapa IKN harus dipindahkan dari Jakarta selain alasan pemerataan sosial ekonomi.
Namun biaya yang dibutuhkan untuk relokasi IKN bisa mencapai Rp469 triliun atau 25 persen total penerimaan negara pada tahun 2018 menjadi suatu hal yang perlu pertimbangan lagi ditengah resesi ekonomi dunia (Gurniwang, 2019).
Pemahaman lebih mendetail terkait relokasi IKN tentu perlu dilakukan mengingat isu ini menjadi isu penting yang harus dipahami semua pihak. Dalam tulisan ini akan mencoba memberi pemahaman lebih mendetail terkait relokasi IKN dan dimulai dengan pertanyaan dasar apa itu relokasi IKN dan kenapa dilakukan serta apa hal yang mendasarinya serta bagaimana hasil dan prediksi pada relokasi IKN di Indonesia. Secara keseluruhan tulisan ini akan memaparkan pemahaman tentang Relokasi IKN mulai dari dasar hingga, tingkat pengimplementasian, dan analisa.
Definisi Ibukota
Sebelum memahami mengenai teori Relokasi IKN, penting untuk mengetahui apa itu ibukota dan kenapa kota ini berbeda dengan kota-kota lain di suatu negara.
Kata Ibukota dalam bahasa inggris sering disebut capital dan ini berasal dari bahasa latin caput yang memiliki makna head (kepala). Kemudian Rapoport (1993) memberi kesimpulannya bahwa ide awal dibalik ibukota bukanlah kota, melainkan headquarters (markas besar). Pendefinisian ibukota secara legal dalam konstittusi atau hukum disuatu negara membuat esensi dari ibukota terlupakan (Illmann, 2015).