Saat ini, tayangan media baik media konvensional maupun digital di Indonesia banyak mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Munculnya fenomena tayangan yang menampilkan adegan laki-laki yang menyamar jadi wanita mulai meresahkan masyarakat karena tayangan tersebut dianggap tidak mendidik. Fenomena serupa biasa juga dikenal dengan sebutan 'waria'. Tayangan tersebut dianggap meresahkan pasalnya sebagian besar 'penikmat' media merupakan anak berusia di bawah umur yang mana harusnya dalam menyaksikan media mereka membutuhkan pengawasan yang ketat khususnya dari para orang tua. Namun, pada beberapa kondisi orang tua tidak dapat melaksanakan fungsi kontrol tersebut misalnya karena sibuk bekerja atau memiliki tugas lainnya di luar urusan menjaga anak sehingga tak jarang hal ini menjadi kelalaian yang jika dibiarkan secara terus menerus dapat berakibat fatal bagi anak. Selain itu, tayangan-tayangan serupa terkadang tampil pada jam tayang yang tidak sesuai konteks. Padahal tayangan dewasa dianjurkan untuk ditayangkan pada malam hari ketika anak-anak umumnya sudah tertidur. Namun, mirisnya beberapa acara yang menampilkan tayangan serupa justru tampil di siang hari disaat kemungkinan anak-anak tengah mengakses tayangan televisi. Mirisnya lagi, aksi-aksi tersebut dilakukan oleh publik figur yang mana terkadang tindakan tersebut hanya ditujukan untuk menaikkan 'rating' program televisi semata. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti menemukan adanya urgensi sebagai akademisi ilmu komunikasi untuk memperhatikan revisi bagi tayangan-tayangan yang ada di ranah televisi Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai referensi bagi masyarakat khususnya akademisi ilmu komunikasi untuk berani menyuarakan tayangan yang layak untuk ditampilkan di layar televisi Indonesia.
Komunikasi dalam kehidupan manusia telah banyak melalui berbagai perkembangan, dari penggunaan alat yang ada pada tubuh manusia sendiri lalu menemukan media tulisan hingga era saat ini yang semakin canggih. Bagi Aristoteles, komunikasi terutama adalah kegiatan verbal melalui mana pembicara berusaha membujuk untuk mencapai tujuan yang dimilikinya dengan seorang pendengar melalui penyusunan argumen secara mahir melalui penyampaian pidato. Banyak sarjana menganggap Aristoteles sebagai teoritikus terbesar mengenai komunikasi retorika. Karya klasiknya, The Rhetoric, ditulis sekitar 330 SM dan berisi tiga buku menekankan elemen, yaitu, pembicara, khalayak, dan pidato.
McCroskey mengidentifikasi tiga unsur penting dalam teori retorika Aristoteles. Semua argumen harus didasarkan pada kemungkinan (apa yang khalayak percayai menjadi benar) karena kebenaran yang dapat diverifikasi secara mutlak tidak mungkin dilakukan dalam kebanyakan kasus; adaptasi khalayak (memahami apa yang besar kemungkinannya untuk membujuk seseorang) adalah kunci efektivitas pesan; dan ketidaksopanan (teorinya dapat digunakan untuk tujuan yang bermanfaat sekaligus tujuan yang tidak berfaedah). Plato, dalam tulisan-tulisannya, menguraikan secara garis besar apa yang menurutnya diperlukan untuk studi retorika dan berkontribusi terhadap penjelasan yang lebih luas mengenai perilaku manusia. Jadi, walaupun banyak peminatan awal yang dalam waktu sekarang kita sebut komunikasi, kenyatannya berfokus pada kajian berbicara di depan umum. Hal ini mesti disadari bahwa untuk memahami dengan mendalam bagaimana persuasi bekerja, kita perlu mengembangkan teori lebih luas dan lebih komprehensif (Brent D. Ruben, 2017).
Wilbur Schramm membuat serangkaian model komunikasi, dimulai dari model komunikasi manusia yang sederhana (1954), lalu model yang lebih rumit yang memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu. Dijelaskan bahwa proses komunikasi berjalan secara sirkuler, dimana masing-masing pelaku secara bergantian bertindak sebagai komunikator/ sumber dan komunikan/penerima.
Sumber: Wilbur Schramm."How Communication Works." Dalam Jean M. Civikly, ed. Messages: A Reader in Human Communication. New York: Random House, 1974, hlm. 7,8,11
Proses komunikasinya dapat digambarkan demikian.
Pelaku komunikasi pertama kali mengambil inisiatif sebagai sumber/ komunikator membentuk pesan (encoding) dan menyampaikannya melalui saluran komunikasi tertentu kepada lawan komunikasinya yang bertindak sebagai penerima/ komunikan. Saluran komunikasi yang digunakan bisa berbeda, misalnya telepon, surat atau secara langsung atau tatap muka.
Pihak penerima/komunikan kemudian setelah menerima pesan akan mengartikan (decoding) dan menginterpretasikan (interpreting) pesan yang diterimanya. Apabila ia (penerima/komunikan) mempunyai tanggapan atau reaksi maka dia akan membentuk pesan (encoding) dan menyampaikannya, kali ini dia bertindak sebagai sumber dan tanggapan atau reaksinya disebut sebagai feedback.
Pihak sumber/komunikator yang pertama sekarang bertindak sebagai penerima/komunikan. Ia akan menguraikan dan menginterpretasikan pesan yang diterimanya, dan jika ada tanggapan/ reaksi, dia akan membentuk pesan dan menyampaikannya kembali ke pasangan komunikasinya. Demikianlah proses ini berlangsung secara terus menerus secara sirkuler.
Perkembangan komunikasi tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sehingga keduanya harus dikaitkan satu sama lain. Menurut para sejarawan, perhatian yang sangat besar terhadap komunikasi dan peranannya sudah diperlihatkan sebelum abad ke-5 SM, dalam naskah-naskah klasik babilonia dan mesir dan di dalam buku karya Homer, Illiad. Sebuah essay yang ditulis sekitar 3000 SM, disusun sekitar 2675 SM di Mesir menyediakan panduan mengenai komunikasi yang efektif.
Pada latar belakang, penulis menyinggung "Mirisnya lagi, aksi-aksi tersebut dilakukan oleh publik figur yang mana terkadang tindakan tersebut hanya ditujukan untuk menaikkan 'rating' program televisi semata." Secara umum, rating adalah indikator yang diperoleh program di media massa termasuk televisi. Indikator tersebut antara lain diperoleh dari banyaknya jumlah penonton yang menyaksikan acara tersebut. Semakin tinggi rating suatu program maka semakin besar kemungkinan program tersebut bertahan lama di layar kaca. Namun, sebaliknya semakin rendah program tersebut maka semakin kecil kemungkinan program tersebut bertahan lama di layar kaca. Situasi yang demikian membuat masing-masing dari program televisi seolah berlomba untuk menaikkan rating programnya dengan berbagai cara termasuk membuat kehebohan dan kelucuan melalui fenomena 'waria'. Mirisnya mereka tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari tayangan-tayangan tersebut padahal media seharusnya memiliki peran edukasi bagi masyarakat. Namun, adanya fenomena tersebut membuktikan bahwa tanggung jawab edukasi tersebut masih sangat dipertanyakan.