Menjadi mahasiswa di era digital seperti sekarang ini menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, tuntutan untuk meraih IPK tinggi masih menjadi prioritas utama. Namun di sisi lain, kemampuan membangun jaringan (networking) semakin dipandang sebagai kunci kesuksesan karir. Lantas, manakah yang sebenarnya lebih penting?
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh JobStreet pada tahun 2023, 70% pekerja profesional mengaku mendapatkan pekerjaan pertama mereka melalui rekomendasi dan koneksi. Data ini menunjukkan bahwa networking memainkan peran vital dalam membuka pintu kesempatan karir. Sementara itu, hanya 30% yang mengaku bahwa IPK menjadi faktor utama dalam mendapatkan pekerjaan mereka.
Realita di lapangan menunjukkan fenomena menarik. Tidak sedikit lulusan dengan IPK cumlaude yang justru kesulitan mendapatkan pekerjaan impian. Di sisi lain, banyak alumni dengan IPK standar mampu menduduki posisi strategis berkat koneksi yang mereka bangun selama masa kuliah.
Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah fokus berlebihan pada IPK justru membuat mahasiswa kehilangan kesempatan membangun jaringan yang berharga?Namun, berpikir bahwa networking adalah segalanya juga merupakan kesalahan besar. IPK tetap menjadi indikator penting yang menunjukkan kemampuan akademis, kedisiplinan, dan daya juang seseorang.
Perusahaan-perusahaan besar masih menjadikan IPK sebagai salah satu filter awal dalam proses rekrutmen. Tanpa IPK yang memadai, networking sekuat apapun bisa jadi tidak cukup untuk membuka pintu kesempatan.
Yang perlu dipahami adalah bahwa kesuksesan karir tidak bisa hanya bertumpu pada salah satunya. IPK dan networking ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. IPK yang tinggi akan memberikan kredibilitas, sementara networking yang kuat akan membuka akses dan peluang. Kombinasi keduanya menciptakan formula yang lebih komprehensif untuk meraih kesuksesan. Menariknya, era digital telah mengubah cara mahasiswa membangun networking. Media sosial profesional seperti LinkedIn menjadi platform strategis untuk membangun personal branding dan memperluas jaringan.
Mahasiswa tidak lagi harus mengandalkan interaksi tatap muka untuk membangun koneksi berkualitas. Hal ini memberi kesempatan yang sama bagi mahasiswa introvert maupun ekstrovert untuk mengembangkan jaringan mereka. Masalahnya, banyak mahasiswa yang terlambat menyadari pentingnya keseimbangan antara prestasi akademik dan networking. Mereka cenderung fokus pada salah satunya saja - entah terlalu terobsesi dengan IPK atau terlalu sibuk berorganisasi hingga mengabaikan nilai akademik. Padahal, kunci kesuksesan terletak pada kemampuan mengelola keduanya secara proporsional.
Lantas, bagaimana cara mencapai keseimbangan tersebut? Jawabannya terletak pada manajemen waktu dan prioritas yang tepat. Mahasiswa perlu memahami bahwa membangun networking tidak selalu berarti mengorbankan waktu belajar. Begitu pula sebaliknya, fokus pada prestasi akademik tidak harus membuat seseorang menjadi anti-sosial.
Tips praktisnya? Mulailah dengan mengikuti kegiatan kampus yang relevan dengan bidang studi. Manfaatkan kesempatan magang untuk membangun koneksi profesional. Aktif di platform LinkedIn untuk memperluas jaringan virtual. Yang terpenting, jaga konsistensi prestasi akademik sambil terus mengembangkan soft skill dan jaringan profesional.
Jadi, benarkah networking lebih penting dari IPK? Jawabannya tidak sesederhana itu. Keduanya penting dan saling melengkapi. IPK yang baik akan membuka pintu kesempatan, sementara networking yang kuat akan memastikan kesempatan tersebut tidak terlewatkan begitu saja. Yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan dalam menyeimbangkan keduanya.
Di akhir masa kuliah nanti, yang akan membedakan seorang lulusan dengan lulusan lainnya bukan hanya angka di transkrip nilai, tetapi juga seberapa luas dan berkualitas jaringan yang telah dibangun. Karena pada akhirnya, kombinasi antara kompetensi akademik yang solid dan kemampuan networking yang mumpuni akan menciptakan profil lulusan yang lebih kompetitif di dunia kerja