Semakin pesatnya pertumbuhan populasi di provinsi DKI Jakarta membuat kebutuhan hunian yang terus meningkat, tetapi hal ini tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan hunian yang memadai.
Menurut Bachriadi dan Wiradi (2011), di Indonesia,terdapat dua jenis ketimpangan pendistribusian kepemilikan tanah. Yang pertama adanya ketimpangan antara penyediaan tanah untuk kegiatan ekstraksi dengan tujuan mencari keuntungan bagi perusahaan-perusahaan besar dan penyediaan tanah bagi aktivitas pertanian rakyat Negara yang juga memiliki permasalahan yang sama yakni Singapura, untuk mengatasi krisis lahan pemerintah Singapura menjalankan sistem hak sewa murni untuk mengoptimalkan penggunaan lahan di negara pulau tersebut.
Konsep hak sewa murni diperkenalkan di Singapura pada abad ke-19. Konsep ini berhasil dalam upaya pemerintah Singapura memitigasi keterbatasan lahan serta mendorong efisiensi penggunaan tanah.
Jakarta sebagai wilayah metropolitan yang memiliki tantangan serupa dalam menyediakan hunian bagi penduduk yang terus berkembang sangat memungkinkan untuk menerapkan model ini sistem hak sewa murni.
Salah satu aspek kunci dari sistem hak sewa murni Singapura adalah penentuan batas waktu hak kepemilikan tanah. Mayoritas tanah di Singapura diberikan hak sewa selama 99 atau 999 tahun, memberikan stabilitas dan kepastian jangka panjang kepada pemilik hak sewa.
Dengan batas waktu ini, pemerintah dapat lebih fleksibel dalam merencanakan penggunaan lahan untuk jangka panjang, sambil mencegah akumulasi kepemilikan tanah secara permanen.
Sistem sewa lahan murni Singapura menonjol karena memberikan fleksibilitas yang tinggi dalam pemanfaatan lahan. Dalam konteks Jakarta yang memiliki keterbatasan ruang, sistem ini dapat memungkinkan penyewa lahan mengajukan izin untuk pengembangan tertentu tanpa harus memiliki lahan secara permanen.
Dengan demikian, sistem ini mempromosikan efisiensi pemanfaatan lahan dan memberikan ruang untuk inovasi dan adaptasi terhadap perubahan kebutuhan kota.
Stimulasi Investasi
Penerapan sistem sewa lahan murni dapat memberikan dorongan signifikan terhadap investasi properti. Dengan memberikan insentif kepada investor untuk menyewa lahan daripada membelinya, Jakarta dapat meningkatkan arus investasi ke sektor properti.
Dampaknya, investasi yang lebih mudah dan efisien dapat membuka peluang baru untuk pengembangan infrastruktur dan proyek-proyek pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Keuntungan ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha properti tetapi juga dapat merangsang sektor lain dalam rantai pasokan konstruksi dan real estat.