Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Esensi Santri 10-9-45

Diperbarui: 27 April 2023   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kian derasnya arus globalisasi tak harus menyudutkan posisi kita sebagai santri Indonesia. Memang nyata dan pasti. Globalisasi tak mungkin kian menciut, namun kian mencuat. Itulah globalisasi. Tak mungkin kita menghentikannya. Bahkan untuk menghindarkan diri kita dari hiruk pikuk sibuknya dunia globalisasi saja rasanya tak mungkin. Jika kita mencoba untuk menghindar, mungkin diri ini akan terasingkan, primitif, atau bahkan dianggap tak ada sekalipun. Untuk itu, kita akan tetap mengikuti akan ke hulu mana zaman ini akan mengalir, tapi tetap dengan hakikat kesantrian kita. Tetap menjaga nilai-nilai kesantrian salaf tapi tetap mengambil nilai-nilai positif di zaman moderen. Kita tak ingin negeri ini mau dibawa kemana-mana tanpa tujuan atau hulu yang jelas oleh arus globalisasi bukan?

Untuk itu, karena kita adalah santri Indonesia, tentu cinta Indonesia. Cinta itu harus. Tanpa diawali cinta, takkan ada yang namanya perjuangan yang akan berujung keharmonisan. Kita tak ingin perjuangan santri di tanggal 22 Oktober 1945 dulu ternyata kita sia-siakan. Cinta mereka yang memang diwariskan untuk kita, malah kita sia-siakan. Rasa nasionalisme mereka begitu tinggi.

 Di zaman itu, santri berani dikatakan sebagai pejuang adalah dengan cara berani menumpahkan darah mereka demi membela tanah air Indonesia yang mereka cintai. Bahkan guru besar mereka, KH. Wahid Hasyim mengeluarkan fatwa bahwa bagi seorang yang mukhalaf dan berjihad demi membela tanah air itu hukumnya fardhu 'ain. Juga, beliau mengeluarkan kalimat yang menjadi jargon sampai saat ini "hubbul wathon minal iman". Bahkan, percaya atau tidak, peristiwa 10 November adalah satu-satunya perang yang tanpa panglima perang. Dan itulah hebatnya the power of santri. Cara mereka melawan adalah dengan kekuatan intelektual merekayang memang perbendaraan ilmu mereka begitu luas dan disertai dengan spirit spiritual mereka yang begitu kuat.

Ya, itulah bentuk jihad pada zaman itu. Mereka berjihad untuk hubbul wathon dengan melawan para koloni.lantas bagaimana bentuk hubbul wathon dan jihad kita sebagai santri zaman sekarang?

Jihad dan hubbul wathon  santri moderen

Seperti yang sudah kita ketahui, globalisasi pastinya banyak didominasi oleh perkembangan dunia digital. Saat ini peringkat dunia digital masih di juarai oleh dunia televisi. Namun, presentase pengguna televisi semakin hari tidak mengalami peningkatan. Berbeda dengan internet, semakin hari konsumennya semakin meningkat. Diperkirakan, beberapa tahun kedepan, jawara dunia digital adalah dunia maya. Seperti yang dikatakan oleh Malcolm X, "The media is the most powerful entity on earth, because they control the minds of the masses." Bahkan, untuk saat ini saja Indonesia menduduki peringkat ke 4 pengguna Facebook tertinggi dunia. Nah, dari situ kita akan paham, jika internet itu sudah jadi bagian dalam diri khalayak umum. Namun ironinya, untuk saat ini dunia maya sudah banyak disinggahi oleh banyak sekali konten aneh-anehyang kalau kita tak punya payung yang pas, kita akan akan dengan mudah kecipratan dan kemudian dengan mudah pula meraupkan cipratan itu ke muka kita. Seperti contohnya, konten yang berbau radikalisme. Berbahaya sekali bukan kalau kita sebagai santri yang tau, tidak bertindak sama sekali? Dan ironinya, saat ini pesantren cenderung menjadi pemirsa, bukan pemain. Mereka cenderung menjadi pemakan umpan, bukan pengumpan. Juga, terdapat 4 tantangan pesantren di era globalisasi ini, yaitu jati diri pesantren, tantangan budaya, posisioning politik, dan ekonomi.

 Ya, disini posisi kita sebagai santri Indonesia di zaman globalisasi harus segera bertindak. Kita akan melakukan pendekatan lewat media yang paling dekat dengan khalayak luas di era globalisasi ini, yaitu lewat dunia digital dan lebih tepatnya dunia maya itu tadi. Kita harus segera bertindak dan berusaha eksis dalam mengisi dunia maya itu dengan berbagai konten positif.

Tetapi, hari ini kita akan mengapresiasi santri-santri yang sudah turut berpartisipasi dalam "proyek isi konten positif" ini, diantaranya, profil "Ala Santri" yang terdapat di Instagram, disitu terdapat dakwah-dakwah dan kegiatan-kegiatan positif ala santri, yang masih dibalut dengan gaya humoris mereka. Membalut nasehat dengan gaya humoris itu juga diperlukan, agar nasehat tak terkesan kaku dan mengekang. Lalu, selain itu terdapat juga situs NUtizen. Situs yang dimiliki oleh warga NU, ini juga tentu berisi tentang nilai-nilai positif yang tentu sangat bermanfaat bagi pembacanya.

Para kaum santri juga bisa berdakwah sambil mengambil kesempatan untuk berbisnis. Misalnya dengan menulis konten islami, Facebook fanpage,yang bisa kita isi dengan nasehat bermanfaat yang disitu juga bisa memberi peluang bisnis pada kita. Disamping mendapat pahala, kita juga dapat uang bukan? Tapi, tetap ingat niat awal kita adalah bukan untuk bisnis, namun untuk membantu keluarga kitaIndonesia khususnya, untuk kemudian bersama-sama menuju hulu yang benar.

Kita hanya melihat apa saja yang datang. Jika suka, mereka memakan, jika tidak, dibiarkan saja, meskipun itu beracun lalu dimakan oleh temannya sendiri. Sebagai santri, haruslah kita berusaha mengubah kebiasaan kita yang seperti itu. Segera bangkit dari zona nyaman karena kita tidak ingin kan, melihat teman kita makan nasi beracun sedang kita tau racun itu apa? Oleh karena itu bersama-sama kita para santri berusaha memberi umpan positif yang pastinya begitu bermanfaat demi rasa cinta kita kepada negeri tercinta kita ini, Indonesia. [Nff]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline