Udara dingin menusuk kulit ketika Alina memulai perjalanan paginya menuju Dieng, Wonosobo. Matahari baru saja menampakkan sinarnya yang lembut, membangunkan perlahan dunia yang masih diselimuti kantuk. Jalanan lengang. Hanya deru angin yang berhembus pelan menyapa daun-daun, menciptakan harmoni alam yang tak tergantikan.Mobil yang dikendarainya meliuk mengikuti kelokan jalan. Di sisi kanan, pagar pembatas jalan tampak membingkai pemandangan luar biasa. Alina memperlambat lajunya, hingga akhirnya berhenti di sebuah titik pandang yang memukau. Di depannya, Gunung Sindoro berdiri dengan gagah. Puncaknya, meski kokoh, terlihat lembut karena kabut putih yang melayang di sekitarnya, seperti syal yang menyelimuti seorang raja agung.
Langit begitu jernih pagi itu, biru cerah dengan gumpalan awan yang melayang ringan, seakan tahu bahwa keberadaannya tak boleh mengganggu pemandangan. Rumput di pinggir jalan masih dihiasi embun pagi, memantulkan sinar matahari dalam kilauan kecil yang hampir tak terlihat. Alina terdiam, menghirup aroma tanah basah yang bercampur dengan dingin segar khas pegunungan.
Dia mematikan mesin mobil, keluar, dan berdiri di tepi jalan. Angin dingin menyapu wajahnya, membangkitkan kenangan masa kecilnya ketika dia sering mengunjungi desa neneknya di lereng gunung. Tangannya meraih ponsel, memotretnya, tapi kali ini bukan hanya untuk sekadar mengabadikan, melainkan untuk merayakan momen ini---momen di mana alam berbicara langsung kepadanya.
Gunung Sindoro seolah hidup di hadapannya. Ia bukan hanya sekadar gunung, tetapi penjaga kehidupan di kaki lerengnya. Terlihat rumah-rumah kecil yang berserakan di kejauhan, seakan bersandar pada kehangatan sang gunung. Asap tipis dari cerobong rumah mulai mengepul, menandakan aktivitas pagi yang damai. Alina membayangkan kehidupan di sana, orang-orang yang setiap harinya disambut oleh keajaiban ini.
"Mungkin mereka sudah terbiasa dengan pemandangan ini," pikir Alina. Namun baginya, ini adalah sesuatu yang luar biasa. Sebuah mahakarya alam yang mengingatkan bahwa kebahagiaan sering kali tak memerlukan hal rumit. Cukup sebuah pagi, gunung, dan keheningan yang berbicara melalui hembusan angin.
Sinar matahari mulai naik sedikit lebih tinggi, menyelimuti lereng gunung dengan cahaya hangat yang lembut. Alina tersenyum, merasa damai. Di tempat ini, waktu terasa melambat. Tidak ada suara bising, tidak ada tuntutan. Hanya ia, gunung, dan alam yang berbisik kepadanya: Nikmatilah.
Dengan berat hati, Alina melanjutkan perjalanan. Namun, pemandangan itu terus melekat di pikirannya. Setiap kelokan berikutnya seolah membisikkan satu hal: hidup yang sederhana adalah hidup yang penuh makna. Dan pagi itu, di lereng Sindoro, Alina menemukan kedamaian yang telah lama ia cari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H