Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Miras Oplosan: Ketika Kejantanan Diperlombakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“(3/12) Seorang wanita paruh baya di Sumedang, Jawa Barat tak kuasa membendung emosi karena mendapati salah seorang keluarganya tewas.” Salah satu kutipan pembuka dari rangkuman berita Miras Oplosan yang lagi-lagi merenggut nyawa yang dimuat di news.liputan6.com.

Berita ini menjadi salah satu dari sejumlah rentetan kabar tewasnya para lelaki dalam beberapa hari terakhir ini akibat menenggak miras oplosan. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, tercatat Tujuh Pria Tewas karena pesta miras oplosan, sedangkan pada 27 Agustus lalu tiga pria tewas asal Garut, Jawa Barat lagi-lagi meregang nyawa dan enam orang menyusul tewas di Bantul, Yogyakarta setelah pesta miras oplosan pada 11 Desember lalu.

Akibat dari rentetan peristiwa tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakilkan Satuan Polisi Pamong Praja menyisir dan menciduk para pembuat miras oplosan. Beberapa pabriknya sudah diamankan, tidak luput pula untuk merazia warung-warung yang menjual miras yang berbahan dasar methanol tinggi ini. Miras oplosan umumnya minuman beralkohol dengan kadungan ethanol atau methanol yang dicampur spirtus. Spirtus, zat yang biasa dipakai dalam pembakaran dalam industri, ketika dicampur dengan minuman methanol atau ethanol yang berkadar alkohol yang tinggi 40%-60% sudah tentu membuat peminumnya tewas dalam jangka waktu dua hari. Alkohol yang masuk ke tubuh, mengalami dehidrogenase (ADH) berubah menjadi asam frostat begitu diolah oleh hati. Hati akan bekerja keras mengolah zat ini, dan asam frostat yang dihasilkan menyebabkan gangguan irama jantung, shocked hingga kehilangan kesadaran.

Dari penjabaran diatas, bisa kita lihat bahwa meminum miras oplosan sama saja bunuh diri. Tetapi apakah mereka yang meminumnya sadar betul resiko yang akan mereka hadapi ketika meneguk minuman tersebut? Saya yakin sekali sesungguhnya, para peminum miras oplosan ini sadar akan akibat yang ditimbulkan dari minuman ini. Tetapi mereka tetap melakukan. Bagaimana peristiwa ini dimaknai dalam prespektif feminisme?

Jika kita cermati seluruh korban tewas dari tragedi miras oplosan ini adalah laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi jantan dan perkasa. Patriarki menyematkan beban tanggung jawab yang diluruhkan pada seluruh darah dan daging manusia biasa ini. Ditambah, paradigma modern memperlombakan kejantanan pria. Lihat saja iklan-iklan obat kuat yang bertebaran di pinggiran surat kabar ataupun jalan raya. Berimpitan tempat dengan penjual batu nisan dan pasang reklame. Laki-laki ini dipaksa untuk menjadi yang paling jantan nan perkasa. Pemberani, memberangus emosi dan tak takut mati.

Laki-laki yang tewas karena miras ini adalah korban dari praktek patriarki yang menuntut mereka untuk selalu perkasa dan tak takut mati. Mereka sesungguhnya tau bahwa dampak miras oplosan mampu memisahkan tubuh dengan ruh mereka tetapi tetap dilakukan atas nama “tes kejantanan” barang siapa paling jantan, dia tidak mati bunuh diri. Sama halnya dengan praktik merokok sebagai solidaritas peer group laki-laki. Beberapa teman saya mengaku hanya merokok ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya. Rokok adlaah simbolisasi dari maskulinitas dan kejantanan. Siapa yang enggan menolaknya dianggap “tidak macho”.

Ketika kejantanan dan kelaki-lakian mereka dipertanyakan, disini taruhan atas harga diri mereka juga di ujung tanduk. Eksitensi pria diukur dari maskulinitasnya. Maka mereka berlomba untuk menantang maut, membunuh emosi dan perasaan. Menjadi mesin yang jauh dari sifat lemah lembut dan kasih sayang. Karena kedua sifat tersebut tidak memiliki nilai maskulin. Benar jika lelaki berpikir dengan rasio, tetapi rasio itu membawa mereka pada jurang perlombaan maskulinitas yang tiada berujung bahkan setelah mereka menikah (maraknya penjual obat kuat dan pengobatan alternatif penyakit lemah syahwat).

Feminism mengembalikan esensi manusia menjadi manusia. Tidak peduli jenis kelaminperempuan, laki-laki, kelamin ganda, transgender, transeksual, ataupun memilih tidak berkelamin/bergender. Feminism menguliti dan melihat manusia menjadi seorang manusia dan memperlakukannya sebagai manusia. Feminisme, melalui prespektif pengetahuan pengalaman perempuan tumbuh bersama tubuhnya dengan pendekatan ethics of care, mencoba melepaskan jubah tanggung jawab dan keperkasaan pada diri laki-laki agar laki-laki bisa bangga menjadi dirinya yang penuh cinta dan kasih saying tanpa merasa bersalah atau malu.

Laki-laki diajarkan untuk berkasih dan tidak tunduk pada pacuan hidup. Feminisme mengulurkan tangan pada laki-laki untuk bersama-sama memproduksi cinta dan kasih pada sesama. Agar semua manusia bisa dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Lelaki tidak harus berlomba menjadi jantan, kami (perempuan) menerima lelaki yang mampu bekerja sama dan membagi kasih, kami tidak melihat kejantananmu. Perempuan melihat kasih dan sayangmu seutuhnya. Lomba Kejantanan yang kalian lakukan hanya hal yang untuk saling dipamerkan pada sesama laki-laki.

Dan yang tersisa dari tragedi miras ini adalah para janda. Ditinggal suami yang tewas akibat menegak miras oplosan. Mereka masih belum terbebas dari kemiskinan. Ditambah dengan gelar janda yang kini mereka harus semat. Beban hidup luruh pada pundak mereka. Ketika suami berlomba pesta kejantanan berujung maut, tinggalah para janda dan anak-anak mereka yang meneruskan kemiskinan dan kesengsaraan hidup mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline