Lihat ke Halaman Asli

Why Not?!

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terlihat sebuah rumah yang nampak mewah dari luar. Halamannya yang bersih tertiup angin sepoy-sepoy yang membuat rumput-rumputnya sedikit bergoyang. Pagar yang tinggi menyempurnakan rumah itu bak sebuah istana yang megah. Pintu setinggi dua kali dari pintu biasa menghiasi rumah megah itu beserta jendela dengan tirai coklat. Cat rumah berwarna putih bersih menandakan pemilknya yang apik akan segala hal.

Pagar yang tinggi itu terbuka, sang satpam penjaga rumah itu ternyata yang membukakan pagar, seorang lelaki dengan mobilnya yang elegan memasuki rumah itu. Lelaki tinggi, kekar, dengan jas hitam, sepatu hitam mengkilat dan sebuah koper terjinjing ditangannya saat menuruni mobilnya. Lelaki itu membuka kacamatanya yang mungkin kacamata itu berfungsi untuk membantu penglihatannya. Bergegas lelaki itu memasuki rumah. Hentakan kaki terdengar kencang karena didalam rumah itu tak terdengar suara apapun. Sepi, suara televisi-pun yang biasanya terdengar di setiap rumah yang biasanya tidak terdengar untuk dirumah ini.

“aku pulangg..!” ucapnya saat menginjak ruang keluarga. Dilihatnya seorang wanita sedang terduduk dengan anggunnya di depan televisi yang tidak menyala. Ia hanya membuka-buka majalah seolah ia membacanya.

“sudah pulang mas? Gimana kerjanya?” tanya sang wanita sambil menghampiri seorang lelaki yang dipanggilnya ‘mas’ tadi. Wanita itu membukakan jas yang sedang dipakenya dan membawakan koper ditangan lelaki itu.

“ya seperti biasa, tidak ada yang sepesial” jawabnya kecut.

“mas.. ada yang mau aku bicarakan”

“bicara saja sayang..” lelaki itu mengecup dahi wanita.

“mas, aku..aku..” wanita itu terlihat takut untuk mengungkapkannya, “aku jenuh mas diam dirumah. Bagaimana kalau aku juga ikut bekerja, ya.. anggap saja sebagai tambahan pemasukan uang dari kamu mas” lanjutnya.

“tambahan pemasukan? Untuk apa? Apa kamu merasa tidak cukup dengan apa yang aku berikan?” nada seorang lelaki itu meninggi.

“bukan gitu mas, hanya saja aku merasa tak berguna! Diam dan diam saja seharian dirumah. Kerjaanku hanya menunggu dan menunggu kamu dirumah, aku bosan mas” wanita itu berbicara melunak, karna ia tau nada lelaki itu mulai meninggi.

“tugas seorang istri memang hanya diam saja dirumah sayang.. hanya melayani suami dan mengurus anak kita, tugas untuk bekerja ya aku! Jadi kamu tidak perlu cape-cape bekerja, biarlah aku yang bekerja” lelaki itu berbicara lembut kepada sang istrinya.

“jika aku selesei melayani kamu dan mengurusi anak-anak, apa yang harus aku lakukan?”

“kamu bisa beristirahat”

“tidak! Aku juga ingin bekerja seperti kamu suamiku, aku juga ingin mencari uang”

“apa uang yang aku berikan padamu kurang Ratna!!?” tanya sang suami marah, sampai memanggil nama pada sang istri.

“aku sudah bilang, bukan kurang suamiku.. aku hanya jenuh berdiam dirumah saja seharian. Aku ingin melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat saja, dan..”

“sekali aku bilang tidak ya TIDAK!! Wanita itu lemah Ratna, wanita itu butuh dilindungi. Sudahlah aku cape, mau istirahat. Jika kamu butuhkan lebih banyak uang, kamu bisa minta padaku, tanpa kamu harus pergi keluar rumah yang membahayakan dirimu”

“aku tidak…..”

Ucapan sang istri dipotong oleh lambaian sang suaminya yang mulai memasuki kamar untuk beristirahat.

***

“Kakak..” seorang gadis mengetuk pintu kamar seseorang yang dipanggilnya kakak. Lelaki yang terlihat lebih dewasa itu membukakan pintu dan memandang sang adik seolah mempersilahkannya masuk ke kamarnya.

“apa?” tanya sang kakak dingin.

“ibu dan ayah bertengkar lagi ya kak?” nada sedih terdengar dari caranya berbicara.

“sudahlah itu semua salah ibumu!” jawab kakak.

“tapi ibu gasalah kak, ibu hanya ingin bekerja sama seperti ayah. Itu saja. Apa harus ayah membentak ibu sekeras itu. Aku juga sama seperti ibu. Aku pengen sekolah, aku pengen berpolitik sama seperti kakak” jelasnya panjang lebar.

“tapi kamu tuh wanita Dini adiku sayangku” kakaknya menggubris sambil menulis sesuatu dibukunya yang tebal.

“apa wanita itu hanya bisa menurut pada laki-laki ya kak?”

“jelas harus! Seorang lelaki itu pemimpinnya wanita. Wanita itu lemah, makanya wanita harus dilindungi, dan seharusnya kamu sebagai wanita berterima kasih dong sama kakak. Hahah” sang kakak tertawa tak berniat.

“lemah gimana sih kak? Tapi kan kita juga punya hak kak?”

“sudah-lah kamu, sudah kamu masih kecil, so’ tau kamu. Tau apa kau tentang hak wanita? Pergi sana! Kakak sibuk!!”

“kakak sama aja kaya Ayah!!” sang adik meninggalkan kamar kakaknya.

***

Tok tok tok. Terdengar suara pintu diketuk. Sang kakak membukakan pintu. Sang kakak hanya terdiam melihat seorang tamu yang datang. Seorang gadis ya seumuran adiknya berdiri didepan pintu. “permisi kak, Dini-nya ada?”

“dikamarnya” sang kakak seperti tidak terlalu suka akan kedatangan gadis ini.

“Din..” panggil gadis yang bertamu itu.

“My..aku ..” wajahnya yang kurang bersemangat memanggil nama temannya dengan panggilan “My”.

“kenapa kamu hey?”

“aku baru saja bertengakar dengan kakaku, entah-lah. Semua lelaki sama saja. Kakak sama saja seperti Ayah. Sama-sama Egoisnya”

“masalahnya apa gitu Din?”

“aku juga pengen sekolah My..pengen berpolitik sama seperti kakak. Mana kemarin ibu dan ayahku pun bertengkar dengan masalah yang sama. Ibuku pengen bekerja sama seperti ayah, tapi ayah malah membentak ibu dengan kasar, aku stress My!!”

“sabarr Din.. gimana kalau besok kamu ikut sama aku, besok aku ada acara diskusi gitu sama temen-temen, temannya tentang Feminisme, sepertinya cocok untukk kamu. Gimana?”

“tapi kakakku pasti tak akan memberi aku izin My..”

“kamu bisa pergi tanpa sepengetahuan dia kan Din, gimana? Mau kan kamu? Sekalian ajak ibu kamu juga. Disana tidak hanya anak seusia kita saja. Sampai ibi-ibi yang merasa tertindas oleh seorang lelaki-pun ada. Jadi besok kamu datang saja bersama ibumu”

“oyaa My? Iya deh, nanti aku bilang sama Ibu. Mudah-mudahan saja ayah dan kakak tidak tahu. Makasih banyak ya My.. kamu memang sahabat baik aku” Dini merangkul sahabatnya itu.

***

“saya setuju tuh!! Tidak seharusnya kita sebagai wanita ditindas semena-mena oleh lelaki!!” seseorang mengepalkan tangannya dan mengangkatnya keatas menyetujui ucapan sang provokator.

“saya juga merasakan hal yang sama. Saya dilarang bekerja oleh suami saya. Jangankan bekerja, untuk pergi keluar saja saya harus ditemani, ya kan sayang??” ibunya Dina berbicara skaligus bertanya pada anakknya agar disetujui.

“iyya. Kakak sayapun seperti ayah, dia hanya bisa meremehkan saya!!”

“kita tidak bisa ditindas seenaknya saja oleh para laki-laki!!”

“kita juga mempunyai hak untuk bekerja, untuk bersekolah, untuk bepolitik, dan untuk mencari nafkah!!”

“tidak hanya seorang lelaki saja yang bisa mencari nafkah, mari kita tunjukan pada mereka bahwa kita sebagai wanita juga bisa seperti mereka”

“sepakaat!! Bagaimana jika kita membuat sebuah perkumpulan untuk wanita?”

“saya setuju, perkumpulan untuk membuktikan bahwa wanita tidak lemah, tidak bekerja yang hanya diam saja dirumah, menunggu sang suami pulang!”

***

“aku pulang”

“darimana saja kamu selarut ini baru pulang?” tanya sang suami yang menaruh tangannya dipinggang.

“tadi saya .. saya.. baru selesei dari rumah teman mas, ya dari rumah teman mas..” sang istri tergagap.

“Dini, masuk kamu ke kamar!!” perintah sang suami. Dini bergegas pergi dan siap menguping pertengkaran Ayah dan Ibunya. “habis melakukan apa saja kamu?”

“tidak. Aku tidak melakukan apa-apa mas. Aku hanya berkumpul dengan ibu-ibu tetangga mas”

“bohong!! Apa kamu sedang merencanakan sesuatu?” tanyanya curiga.

“tidak mas”

“BOHONG KAMU!!” nada tinggi sudah terdengar. Hening.

“mas, aku ingin bicara..”

“bicara apa kamu? Bicara tentang kamu yang memaksaku mengizinkan kamu untuk bekerja? PERCUMA!! Aku tak akan pernah memberi kamu izin!”

“tapi mas..”

“apa yang kamu cari diluar sana?!!”

“aku hanya ingin sepertimu mas”

“tidak!! Kamu wanita. Kamu tidak bisa seperti aku. Aku ini lelaki, aku kuat, dan kamu, kamu tuh lemah. Kamu tidak pantas berada diluar sana berkeringat mencari uang. Kamu hanya pantas diam dirumah, diam….”

“diam menyiksaku, seperti itu mas??!” sang istri mulai emosi.

“sebenarnya apa yang telah kamu perbuat dari luar sana tadi sampai kamu membangkang seperti ini?!” tanya sang suami.

“aku hanya berbicara tentangmu mas, tentang seorang lelaki yang egois, yang inginnya hany menang sendiri, yang…”

PLAKK.

Sang suami menampar istrinya dan berlalu memasuki kamar. Sang istri hanya tertunduk dan menangis sambil memegang pipinya yang sakit bekas tamparan suaminya.

***

“istriku ini sudah keterlaluan” ucap suami pada teman-temannya.

“memangnya ada masalah apa lagi kamu” tanya salah satu temannya saat berkumpul untuk beronda.

“dia memaksaku memberinya izin untuk bekerja. Aku sudah cape memberitahunnya bahwa dia tak pantas untuk bekerja”

“tidak bisa seperti itu! Mana mungkin derajat seorang wanita yang lemah disamakan dengan seorang lelaki kuat seperti kita ini? Aku tidak setuju!”

“kamu harus memberi istrimu pelajaran bung, jangan sampai dia memaksmu untuk memeberinya izin bekerja lagi” ujar yang lainnya lagi.

“sepertinya istriku ini sedang melakukan perkumpulan wanita”

“untuk apa?”

“ya untuk menghajar kita bung, untuk menuntut hak tak berguna mereka. Padahal apa kurangnya aku? Aku sudah memberikannya segala yang tak didapatkan oleh seorang istri yang lainnya? Entahlah apa yang ada dipikirannya”

“bagaimana jika kalian mencari tahu siapa provokator dari perkumpulan wanita itu?”

“lalu, apa yang harus aku lakukan setelah aku menemukan provokator itu?”

“kamu bisa membunuhnya”

***

“mas..”

“apa? Apa kamu mau memulai pertengakaran kita lagi?” sang suami sudah tidak tahan rupanya dengan sang istri.

“mas, aku bisa memastikan kamu kalau aku tidak apa-apa bekerja. Kalau tidak akan ada seseuatu yang terjadi padaku” sang istri yang kekeuh akan keinginannya.

“istriku. Sudah aku bilang beberapa kali. Aku tak akan pernah mengizinkan kamu untuk pergi bekerja keluar sana! Apa yang kurang dari aku? Kamu butuh uang yang banyak? Minta saja sama aku, nanti akan aku beri!!”

“aku hanya ingin seperti kamu mas, bisa bekerja, bisa berguna, dan..”

“apa kamu fikir, selama ini kamu tidak ada gunannya dimata aku? Kamu berguna sayang..” sang suami tersenyum dingin.

“aku merasa aku tak melakukan apa-apa mas. Aku hanya melayanimu pada malam hari dan siang harinya aku mengurus anak-anak dan setelah itu? Aku hanya berdiam diri di depan televisi yang tak pernah aku tonton, aku jenuh mas, bosan, tolonglah kamu mengerti aku”

“sudah ku bilang wanita itu lemah, tak akan sanggup bekerja seperti lelaki. Tak akan sanggup menyaingi derajat seorang lelaki”

“apa mas? Jadi selama ini kamu tak memberiku izin untuk bekerja hanya karna semata-mata kamu merasa tersaingin oleh aku? Oleh wanita mas? Kamu benar-benar egois mas!!”

DOORR

Tembakan yang kencang terdengar membahana didalam rumah. Darah yang mengalir dari perut sang istri membuat sang istri tergeletak lemas dilantai. Sang suami yang memegang pistol hanya terduduk di kursi dengan menunduk.

“mas .. a..apaa, apa yang.. yang.. kauu.. kau lakukan.. pa.. padaku?” ucap sang istri menahan sakitnya peluru dalam perutnya.

“maafkan aku istriku”

“mas.. de..dengan. dengan matinya..matinya aku ini, aku bersumpah.. pergerakan.. per.. pergerakan, dan..dan per.. perkumpulan wanitaa.akan.. akan.. sem.. semakin banyak, mas!”

DOORR

Untuk kedua kalinya sang suami menembakan peluru kepada sang istri yang membuat sang istri langsung terdiam begitu saja dilantai. Sang suami hanya menundukan kepalanya, melihat sang istri yang tergeletak dilantai berlumuran darah.

-SELESAI-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline