Malam tadi adalah malam yang terburuk bagimu, keluarga suamimu seperti tidak menganggap keberadaanmu. Semua wanita pasti ingin dianggap dan dihargai termasuk dirimu, tak hanya oleh suami. Seorang istri juga ingin dihargai keberadaannya oleh keluarga suami. Seberapa besar ia berusaha menyesuaikan diri, namun tetap saja tak dihargai. Sangat pedih rasa yang kamu dapatkan, merasa tak dianggap oleh keluarga suamimu.
Sambil menangis, kamu tetap berusaha tegar menghadapi kehidupan rumah tangga yang membuatmu sedih. Meski sudah berusaha mengakrabkan diri, namun yang terjadi hanyalah rasa sakit, dirimu pun tampak lelah menghadapinya. Tidak ada yang bisa memahamimu, termasuk suamimu, apalagi keluarga suamimu yang selalu bersikap acuh kepadamu. Yang mengerti perasaanmu, hanyalah seorang dirimu sendiri.
Pernikahanmu dengan suamimu memang terbilang belum terlalu lama, baru menginjak usia tiga tahun kau bercumbu dengannya. Setelah kamu memutuskan untuk pergi dari rumah itu, dengan membawa anakmu yang baru saja berusia dua tahun. Banyak keraguan yang menghampirimu apalagi sejak kamu pergi, suamimu memutuskan untuk tinggal dirumah petak kecil yang berada didekat rumah orang tuamu dimana tempat kamu tinggal sekarang.
Suamimu tidak pernah menyerah, untuk mengajakmu dan merayumu pulang kembali kerumah yang sebelumnya kalian berdua tempati. Suamimu selalu menghampirimu, agar kamu bisa kembali dalam pelukan hangatnya. Namun, rasa itu pun sudah berubah, semuanya sudah terasa hambar. Tak ada rasa sedikitpun kamu terenyuh dengan usaha apapun yang telah dilakukan oleh suamimu terhadap kamu.
Kamu menatap seorang anak perempuanmu, dengan penuh kesedihan. Terus terbayang dalam dirimu, bagaimana jadinya jika kamu bercerai dengan suamimu lantas anakmu tidak akan mendapatkan sosok ayah setiap harinnya. Sebenarnya, kamu hanya ingin dihargai oleh keluarga suamimu. Hanya itu saja, dan tidak lebih dari apapun. Namun, keluarga suamimu tetaplah tidak mempedulikanmu.
Pagi mulai menyapa. Cahaya matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Terdengar bunyi jarum jam mengiringi kesunyianmu, tanpa kehadiran suami disebelahmu. Kamu tetap menunggu kabar, apakah keluarga suamimu akan kembali menyapamu, dan ternyata tidak. Kamu menjalani hari, layaknya seperti dirimu seorang diri sebelum suamimu datang kedalam hidupmu.
Segala aktivitas, kembali kamu lakukan dengan seorang diri. Dengan harapan bahwa kamu dapat kuat menjalani hari-harimu, dengan kenyataan yang sangat pahit. Senyumu sudah berubah, Dirimu tampak kebingungan. Bagaimana pun, kamu harus menjalani harimu seperti tidak ada masalah yang terjadi. Kamu tetap berusaha untuk menutupi kesedihanmu, dengan menghiraukan apapun yang terjadi dihari sebelumnya.
Setelah memutuskan untuk berpisah dengan cinta pertamamu, hatimu tertutup terkunci, sepertinya semua sudah berakhir, dalam pikiranmu hanya akan hidup berdua saja dengan anak semata wayangmu. Walaupun mantan suamimu tetaplah bertanggung jawab atas apapun yang menimpa anakmu, yakni korban perpisahan kalian berdua. Kamu tetap memutuskan untuk fokus terhadap kariermu, sebagai orang tua tunggal yang akan merawat dan menafkahinya.
Segala cara sudah kamu lakukan, untuk tetap kuat dan tegar menghadapi semuanya. Hubungan kamu dengan suamimu pun, akhirnya tetap berjalan dengan baik, dengan saling berkomunikasi satu sama lain. Mau bagaimanapun, mantan suamimu tetaplah seorang yang berperan dalam hidupnya, dan tetap membutuhkan sosok ayahnya. Semua ini, dengan ikhlas kamu lakukan agar anakmu tidak sedikitpun kehilangan kasih sayang dari sosok kedua orang tuanya.
Walaupun harus berjuang sendirian dan menjadi seorang single mom (Ibu tunggal), ini merupakan tugas yang berat selama hidupmu. Tak sedikit wanita yang berhasil membesarkan buah hatinya tanpa didampingi sang suami, setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri. Dengan rasa sakit yang pernah dialami, kamu kembali termotivasi untuk tetap semangat menjalani hidup terutama pada anak dan karier yang dimiliki.